Pendidikan Agama Islam di Madrasah
Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam (PAI) dan
Pendidikan Islam merupakan dua konsep yang
berbeda. Namun masih banyak yang menganggap keduanya sebagai suatu
istilah yang sam. Menurut Tafsir bahwa PAI dibakukan sebagai nama kegiatan
dalam mendidikan agama Islam, PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan
Agama Islam, karena yang diajarkan adalah agama Islam bukan PAI. PAI merupakan
nama untuk kegiatan atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam. Kata
pendidikan seaharusnya mengikuti setiap nama mata pelajaran. Sedangkan
pendidikan Islam adalah sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami berdasarkan
filosofi Islam, teori-teori pendidikan yang digunakan serta komponen-komponen
lainnya secara keseluruhan mendukung terwujudnya manusia Islam yang ideal.
Menurut Muhaimin Pendidikan
Agama Islam merupakan salah satu dari pendidikan Islam. Pendidikan Islam yakni sistem
pendidikan yang difahami, dikembangkan, dan disusun dari ajaran dan nilai-nilai
fundamentantal berdasarkan Alqur’an dan Hadits. Pendidikan Islam dapat berwujud
pemikiran dan teori pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari
sumber-sumber dasar tersebut. Sedangkan Pendidikan
Agama Islam adalah
upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi
pandangan dan sikap hidup seseorang. PAI dapat berwujud segenap kegiatan yang
dilakukan seseorang atau sekelompok
peserta didik atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang
dampaknya tertanamnya dan berkembangnya ajaran Islam dalam diri (sebagai
pandangan dan sikap hidup) salah satu pihak atau beberapa pihak.
Lebih lanjut Muhaimin
menyebutkan istilah Pendidikan dalam Islam yang diartikan sebagai proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan
yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Atau dalam bahasa
lain pendidikan Islam sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama,
budaya, dan peradaban dari generasi ke
generasi selanjutnya.
Fungsi PAI di Madrasah
Madrasah merupakan
salah satu lembaga pendidikan Islam yang berdiri dan berlangsung hingga saat
ini. Faktor yang melatarbelakangi munculnya madrasah di Indonesia pertama dikarenakan ketidakpuasan umat Islam dengan system pendidikan
tradisional yang dianggap kurang memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran berkembangnya
sekolah belanda secara cepat yang dapat menyebabkan pemikian skuler dalam
masyarakat (Muhaimin: 2005). Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam tentunya
memiliki paradigma yang berbeda dengan sekolah ataupun pondok pesantren.
Keinginan dari lembaga ini sebagai wadah yang mencoba untuk memadukan antara
pengetahuan umum dan agama dalam satu tempat.
Melalui muatan agama di madrasah yang
lebih banyak dibandingkan sekolah, PAI di madrasah diharapkan mampu memerankan
fungsinya secara maksimal. Majid (2004) menyatakan terdapat 7 fungsi PAI, yaitu;
1) pengembangan, 2) penanaman nilai, 3) penyesuaian mental, 4) perbaikan, 5) pencegahan,
6) pengajaran, dan 7) penyaluran. Sedangkan dalam Firmansyah (2019) bahwa PAI
memiliki fungsi; 1) Penanaman nilai-nilai Islami melalui pendidikan yang
bermutu. 2) menghasilkan output dengan pribadi insan kamil. 3)
menjadikan kehidupan peserta didik (pribadi dan sosialnya) mampu menebarkan
kedamaian/rahmatan li al’alamin.
Fungsi PAI di madrasah tentu tidak
terlepas dari Pendidikan Islam itu sendiri, yaitu pertama, sebagai tarbiyah al-insya’ atau menumbuhkan atau
mengaktualisasikan potensi. Potensi manusia sendiri sangat banyak, mengutip
dari (Umar: 2010) bahwa ada delapan potensi bawaan manusia yaitu: 1) al-Fitrah
(citra asli), 2) Struktur manusia (jasmani, ruhani, nafsani); nafsani
terdiri dari qalbu, akal, dan hawa nafsu, 3) Al-hayah (Vitality);
merupakan daya, tenaga, energi, atau vitality yang karenanya manusia
dapat bertahan hidup, 4) Al-Khuluq
(karakter), 5) at-Thabu’ (Tabiat),
6) as-Sjiyah (Bakat), 7) as-Sifat (Sifat) 8) al-‘Amal
(Perilaku).
Kedua, sebagai pewarisan budaya. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pendidikan Islam sebagai pewarisan
budaya islami dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah matinya
kebudayaan Islam apabila nilai-nilai dan
normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwariskan kepada generasi
berikutnya. Agama dan budaya menurut Sayid Quthub memiliki hubungan simbiotis,
yaitu agama membutuhkan aktualitas dalam budaya, sementara budaya membutuhkan
kerangka ideal dalam membingka kreatifitasnya.
Ketiga, menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup (way
of life) yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam
keterampilan hidupnya sehari-hari. Artinya PAI bukan hanya dijadikan sebagai
pengetahuan saja, namun bagaimana PAI mempengaruhi peserta didik dalam
berfikir, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari mereka. Untuk
itu dibutuhkan pendidikan agama Islam bukan sekedar pengajaran agama Islam.
Ruang lingkup PAI di Madrasah
Madrasah sebagai sekolah umum
yang berciri khas agama Islam berusaha menyejajarkan kualitasnya dengan sekolah
umum dengan memberikan porsi 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama. Dengan demikian porsi pendidikan agama
Islam di madrasah lebih banyak daripada PAI di Sekolah. Karena PAI di madrasah
dibagi ke dalam sub mata pelajaran Alqur’an-Hadits, Akidah-Akhlak, Fikih, dan
Sejarah Kebudayaan Islam. Tentu alokasi waktu PAI yang diberikan pada madrasah
berbeda dengan PAI di sekolah yang merupakan satu mata pelajaran dan hanya
diberikan alokasi waktu 2/3 jam perminggu.
Madrasah diharapkan menjadi wahana untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman.
Pendidikan di madrasah secara ideal menjadi aktifitas formal-non formal dan
sebagai peristiwa informal sekaligus.
Artinya ketiga alam tersebut manjadi suasan khas dari madrasah yang perlu dikondisikan agar mampu menjadikan peserta
didik sebagai Muslim yang selaras (jasmani-ruhani, duniawi-ukhrawi), manusia
moralis (sebagai individu dan sosial), manusia nazhar dan I’tibar (kritis,
berjihad, dinamis, ilmiah, dan berwawasan ke depan) serta manusia yang
memakmurkan bumi.
Pembinaan ruh dan praktik hidup keislaman di
madrasah diperlukan penciptaan suasana religius (keagamaan Islam). Suasana
religius bukan hanya sekedar simbolis-simboli saja, namun berupa penanaman dan
pengembangan nilai-nilai Islam pada setiap bidang pelajaran dan pengalaman
belajar peserta didik yang terprogram dalam sistem pendidikannya. Maka,
konsekwensinya dibutuhkan para guru dan tenaga kependidikan yang mampu
mengintegrasikan wawasan imtaq dan iptek.
Nilai-Nilai dalam Praktik Pendidikan di Madrasah
Nilai agama Islam adalah pembeda
dalam praktik pendidikan di madrasah dengan sekolah umum. Ruh pendidikan madrasah merupakan nilai-nilai agama Islam yang menjiwai setiap
gerak langkah praktik pendidikan di madrasah. Nilai-nilai tersebut dijadikan warga
madrasah sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam menjalankan proses pendidikan di madrasah. Nilai-nilai yang
menjiwai praktik pendidkan di madrasah antara lain: keikhlasan, kasih
sayang, mahabbah fillah, mujahadah, riyadlah, tazkiyatunnufus. Pengembangan PAI di madrasah bukan hanya pada sisi sub mata
pelajarannya saja, namun pada sisi praktik pendidikan juga harus diwujudkan. Kekhasannya
bukan saja ada pada jumlah mata pelajaran PAI dan Bahasa Arab, namun lebih penting
adalah nilai-nilai agama menjadi warna dalam cara berfikir, bersikap dan bertindak
ketika menyikapi situasi pendidikan dengan kebijakan dan praksis pendidikan di madrasah. Adapun kekhasan dan ruh madrasah yang harus
selalu dikembangkan sebagai nilai-nilai yang menjiwai kebijakan dan praksis
pendidikan di madrasah adalah sebagai berikut (Dirjen Pendis: 2022);
- Prespektif
ibadah dalam praksis Pendidikan (niat)
- Hubungan
guru-murid diikat dengan mahabbah fillah
- Pendekatan
‘ainir rahmah/pandangan kasih sayang
- Hati
sebagai fokus utama Pendidikan (harmoni dan tazkiyatunnufus)
- Penguatan
Akhlak/karakter di atas ilmu (antara ilmu dan hidayah Ilahi)
- Penguatan
kecerdasan melalui adab (Adab: guru-murid, murid-guru, diri sendiri, ketika
pembelajaran, dan media pembelajaran)
- Keberkahan
dan kemanfaatan ilmu dalam kehidupan
- Antara
ikhtiyar pengkondisian dan hidayah Ilahi.
- Bertauhid
dalam praksis pendidikan: (takdir, iradah)
- Sinergi do’a antar steakholder pendidikan
Posting Komentar