Pergeseran Paradigma Nilai Hasil Belajar
Pergeseran Paradigma Nilai Hasil Belajar dalam Pendidikan
Nilai
dalam dunia pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses
pembelajaran. Nilai dipandang pendidik, peserta didik, orang tua atau wali, dan pihak-pihak lain yang terlibat
dalam pendidikan menjadi salah satu fokus perhatian mereka. Bagi peserta didik
nilai sering dianggap sebagai sebuah prestasi mereka, sedangkan bagi pendidik
nilai merupakan sebagai penanda berhasil tidaknya proses pembelajaran yang
dilaksanakan. Bagi orang tua/wali nilai banyak dianggap sebagai prestasi akhir
putra putrinya di sebuah lembaga pendidikan dan terkadang menjadi alat untuk
intervensi juga kepada anak-anaknya. sedangkan bagi pihak kepala sekolah, dinas
pendidikan dan seterusnya ke atas sampai ke Kementerian nilai menjadi tolak
ukur keberhasilan sistem pendidikan yang telah diprogramkan.
Salah satu problematikan pendidikan saat ini terjadi pergeseran paradigma tentang nilai yang sebenarnya menjadi bagian integral dalam proses pembelajaran menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Hal ini akan berdampak pada paradigma belajar peserta didik, pada hakikatnya belajar menghendaki perubahan, yaitu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari buruk menjadi baik, dari tidak bisa menjadi bisa dan seterusnya. Jika hanya fokus pada nilai dengan mengabaikan perubahan tersebut, maka apalah arti dari sebuah skor nilai yang dianggap besar dan dianggap baik. Jadi, disorientasi belajar yang hanya memfokuskan pada nilai suatu saat nanti akan berbahaya pada perdaban pendidikan yang diselenggarakan.
Dilema Nilai bagi Pendidik
Dari hasil pengalaman menggeluti praktik
pendidikan, bagi pendidik nilai hasil belajar yang dikeluarkan terkadang keluar
dari prinsip-prinsipnya. Tidak sedikit nilai hasil belajar dipengaruhi dari
unsur subyektif seorang pendidik. Ada dua
kasus yang menarik ditulis disini yaitu; kasus pertama, ketika seorang
pendidik yang sedikit atau jarang memberikan nilai “A” (sangat baik, kalau skor
antara 90-100) dianggap terlalu perhitungan dalam memberikan nilai, dari sudut
pandang pendidik yang menganggap bahwa peserta didik masih belum sesuai dengan
kompetensinya jika mendapatkan nila “A” tersebut. pendidik seperti ini dianggap
pelit nilai dan mempengaruhi terhadap rata-rata nilai akhir para lulusannya.
Kasus kedua, pendidik dengan kemurahan dalam mengeluarkan nilai dengan anggapan
bahwa itu hanya sekedar nilai, yang penting kehadiran peserta didik rajin.
pendidik beranggapan kita tidak tahu nanti ketika lulus dia mau berubah,
setidaknya dengan nilai yang besar dapat membantu mereka.
Dalam
kasus pertama seorang pendidik yang menganggap nilai sebagai hasil belajar yang
ideal dengan hasil tes ataupun non tes secara obyektif, hal ini dianggap akan
berdampak pada rata-rata nilai akhir lulusan yang tidak sesuai dengan standar
nilai lulusan. namun pada kasus kedua dengan nilai yang mudah dan murah dari
pendidik (ada istilah nilai syafa’at) dengan anggapan bahwa itu bagian
mempermudah peserta didik untuk memperoleh standar nilai para lulusan yang
tinggi atau kalau dalam sekolah/madrasah memenuhi syarat kriteria ketuntasan
minimum. Hal ini berdampak bahwa nilai
hanya sekedar memenuhi syarat tertentu dari sistem pendidikan. Dua kasus
tersebut sepertinya masih banyak ditemui dalam praktik penilaian dalam proses
pembelajaran di lembaga pendidikan.
Dilema bagi pendidik mau memilih seperti kasus yang pertama atau kedua yang dianggap seolah-olah bertentangan antar keduanya. Padahal kalau kita tarik ke atas lagi bahwa penilaian adalah bagian dari suatu evaluasi dalam proses pembelajaran. penilaian dilakukan pendidik untuk menjadi landasan dalam mengambil keputusan dalam evaluasi pembelajaran. Jika nilai hasil belajar yang diperoleh tidak memenuhi standar yang ditetapkan berarti ada kekurangan atau kesalahan dalam prosesnya, bisa dari unsur pendidik, peserta didik, atau prosesenya (materi, metode, media pembelajaran), atau unsur lainnya. Jadi, penilaian bukan dari tujuan akhir dalam proses pembelajaran, namun penilaian adalah bagian dari proses pembelajaran itu sendiri.
Apakah Sebenarnya yang Terkandung dalam Nilai Hasil Belajar?
Nilai
hasil belajar biasanya dinyatakan dalam bentuk huruf atau deskripsi baik buruk.
Misalnya jika A maka sangat baik, B adalah baik dan seterusnya sampai pada
huruf E yang diartikan sangat tidak baik. Nilai merupakan proses tindakan
lanjutan dari pengukuran melalui tes ataupun non tes terhadap kompetensi peserta
didik baik dalam ranah kognitif, afektif, ataupun psikomotorik. Dari rentang
skor dan kriteria yang telah ditentukan, maka dibalik nilai tersebut
menggambarkan pencapaian dari sebuah kompetensi tertentu peserta didik. artinya
dibalik nilai tersebut secara implisit mengandung makna-makna yang
menggambarkan kemampuan peserta didik.
Dibalik adanya nilai dalam proses pembelajaran memiliki beberapa fungsi diantaranya pertama, membantu pendidik dan peserta didik mengetahui capaian pembelajaran peserta didik dari hasil proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, kedua, nilai juga berfungsi sebagai dasar perbaikan proses pembelajaran, ketiga, nilai juga dapat dijadikan sebagai motivasi peserta didik dalam memberikan reaward atas hasil pembelajarannya. Namun pada sisi lain, terkadang nilai menjadi momok yang berpotensi mendeskriminisasi antar peserta didik, nilai juga dianggap prestasi akhir peserta didik yang hanya menjadi kebanggaan dirinya, dan yang lebih parah lagi nilai tidak memiliki makna apapun selain hanya sebuah goresan huruf atau angka yang kosong di dalamnya.
Apakah nilai masih dipercaya sebagai gamabaran dari pencapaian kompetensi peserta didik?
Dari fenomena yang terjadi pada kasus-kasus dunia pendidikan, muncul pergeseran paradigma bahwa nilai menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Terjadinya jual beli nilai antara pendidik dengan peserta didik masih marak terjadi pada institusi pendidikan. Misalnya dengan pendekatan emosional seorang peserta didik kepada pendidik mampu merubah angka atau huruf suatu nilai. Selain itu nilai hasil dari sebuah intervensi sistem pendidikan juga masih membayangi dunia pendidikan. Seperti yang terjadi saat ini dalam praktik pendidikan yang terjadi bahwa jika pendidik memberikan nilai raport di bawah kriterian ketuntasan minimum maka akan mendapat teguran dari kepala sekolah/madrasahnya, kepala sekolah/madrasah akan mendapat teguran dari pengawas atau dinas pendidikan jika tidak mampu meluluskan 100% peserta didiknya. Para pejabat dinas pendidikan juga akan mendapat teguran dari pejabat daerah atau kementerian di atasnya jika tidak mampu menuntaskan kelulusan 100% misalnya, maka mau tidak mau pendidik akan memejamkan mata untuk memberikan nilai lulus pada raport peserta didiknya. Pendidikan tinggi pun demikian, akan dianggap tidak berhasil jika nilai rata-rata studi mahasiswa berada di bawah standar yang ditetapkan. Dari nilai juga akan mempengaruhi reputasi akreditasi institusinya. Hal ini tentu banyak sedikitnya akan berdampak pada sistem pendidikan yang berubah demi menjaga reputasi akreditasi lembaga.
Mungkin
jawaban atas pertanyaan tersebut tidak dapat digeneralisasikan, tapi setidaknya
banyak kehampaan dari sebuah nilai yang kering akan makna dan kandungan
kompetensinya. Nilai menjadi perioritas utama dalam pendidikan dengan mengabaikan
proses yang seharusnya dilaui bersama-sama sebagai pengalaman belajar.
Siapa yang salah? Peserta didik, pendidik, orang tua/wali, atau sistem pendidikannya?
Semua memiliki potensi dalam berkontribusi dalam problematika ini, namun tidak ada gunanya juga jika hanya saling menyalahkan satu sama lainnya. Yang jelas bahwa sebenarnya nilai itu adalah bonus kecil saja dibalik proses yang dilalui dengan benar setiap pelaku pembelajar. Karena akan banyak kemungkinan bahwa nilai yang dicapai pada saat pendidikan akan menguap tanpa bekas jika tidak memiliki kesadaran untuk pengambangan dirinya. Nilai juga akan luntur jika hanya dijadikan bangga-bangga an untuk beradu satu sama lainnya. Nilai juga akan tidak bermakna jika tidak mengandung kompetensi pemiliknya. Jadi pada intinya perlu untuk re-orientasi paradigma bahwa nilai bukanlah tujuan dalam proses pendidikan, nilai juga bukan prestasi akhir yang dicapai peserta didik. prestasi-prestasi lain dalam konteks kehidupan masih banyak yang harus diperjuangkan ketika sudah lulus.
Posting Komentar