Peran Keluarga Sebagai Institusi Pendidikan

Daftar Isi

 Peran Keluarga Sebagai  Institusi Pendidikan Anak

Gambar Anak Fase Awal Perkembangan


Keluarga Sebagai  Institusi Pendidikan Anak

Keluarga sebagai institusi pendidikan Islam pertama dan dasar bagi anak yang kedudukannya sangat urgen. Sebagaimana menurut Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar  Dewantara yang menyatakan bahwa “keluarga menjadi salah satu aktifitas pendidikan diantara tri pusat pendidikan” (keluarga, perguruan/sekolah/madrasah, pergerakan pemuda/masyarakat). Namun saat ini sebagian keluarga yang diharapkan mampu membantu mencapai tujuan pendidikan maindsetnya beranggapan bahwa pendidikan anak sepenuhnya berada pada aktifitas pendidikan formal. Hal ini seolah-olah pendidikan hanya dipahami proses transfer pengetahuan saja oleh sebagian besar masyarakat. Padahal pendidikan tidak hanya bertanggungjawab tentang pengetahuan tetapi juga sikap/perilaku dan keterampilan.

Perlunya memahami kedudukan dan peran masing-masing antara keluarga, sekolah, dan masyarakat yang memiliki implikasi  yang besar dalam proses pendidikan manusia. Lantas apakah lembaga pendidikan saja belum cukup? Tentu saja sangat belum jika hanya memasrahkan pendidikan anak pada lembaga pendidikan formal, karena waktu dan terkadang rasional pendidik dengan peserta didik memiliki keterbatasan.

Lantas bagaimana Adanya pesantren, boarding school, full day school, sebagai usaha dalam membantu proses pendidikan anak dengan menyatukan lingkungan pendidikan? Memang beberapa institusi pendidikan memang mencoba untuk mengintegrasikan aktifitas pendidikan (Tri  pusat pendidikan) menjadi  satu, namun adanya institusi tersebut hanya untuk anak usia yang sudah memasuki sekolah, sedangkan masa keemasan perkembangan anak yaitu terjadi pada usia sampai batas 5 tahun sebagian besar atau hampir seluruhnya masih bersama keluarga.

Disisi lain Pondok Pesantren yang menyediakan asrama untuk pemondokan para santri juga hanya diminati beberapa persen dari jumlah anak yang mengenyam dunia pendidikan. Full day school yang menjadi gagasan dan konsep baru ternyata dalam praktiknya masih banyak terjadi kendala terkait dengan latar belakang kultur masyarakat yang berbeda-beda antara masyarakat kota dengan desa, para petani dengan pegawai dan seterusnya. Boarding school istilah asrama dalam dunia modern juga hanya disediakan beberapa sekolah saja bahkan dalam satu wilayah belum tentu ada sekolah/madrasah yang memfasilitasi tempat tinggal para peserta didik.

Lantas pertanyaan selanjutnya muncul bagaimana dengan adanya PAUD yang mendidik pada masa keemasan anak? PAUD hanya mendidik anak paling lama 3 jam dalam sehari, sedangkan dalam satu hari ada 24 jam, artinya hanya 12,5 % anak didik oleh para guru PAUD tersebut. Dan itu bukan hanya untuk anak usia PAUD tetapi juga untuk pendidikan jenjang berikutnya (yang di luar pondok/fullday school/ boarding school) mulai dari SD/MI, SMP/MTS/ SMA/SMK/MA. Waktu anak di lingkungan keluarga lebih banyak dari pada di lingkungan sekolah. Jadi, bagaimanapun juga bahwa pendidikan dasar bagi anak-anak yang cukup besar pengaruhnya adalah diawali dari aktifitas pendidikan keluarga. Maka perlu disadari kembali, bahwa keluaga adalah institusi pendidikan pertama bagi anak-anak.


Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak

Pendidikan bukan hanya proses transfer of knowledge, tetapi juga berkaitan dengan perkembangan spiritual manusia, peningkatan nilainya sebagai individu, dan persiapan kaum muda untuk memahami zaman dimana mereka hidup. Sebagaimana menurut Fase perkembangan manusia menurut Montessori (dalam Fahruddin Faiz) terdapat 4 (empat)  yaitu:

  1. Fase pengembangan diri individu (anak "menciptakan dirinya sendiri" dengan mencontoh orang dewasa di sekitarnya)
  2. Fase perkembangan sosial (anak belajar keterampilan-keterampilan sosial)
  3. Fase awal dewasa (anak sebagai individu mengeksplorasi pilihan, memilih jalan dan memulai karir mereka)
  4. Fase dewasa (individu mulai menanyakan tentang "siapa aku?", dan tujuan mereka di dunia (sebagai prioritas). Pada tahap akhirnya mereka mendapatkan kemandirian moral dan spiritual).

Dari keempat fase di atas, menurut Montessori, yang paling berpengaruh adalah fase awal. Anak kecil bukan sekedar tubuh, melainkan kumpulan potensi. Setiap anak memiliki kecenderungan psikologis dan jalur yang sehat sendiri-sendiri untuk tumbuh kembang. Anak-anak memahami dirinya dengan berinteraksi dengan berbagai hal di lingkungannya. Sehingga pengalaman langsungnya dengan lingkungan akan bermanfaat baginya. Sebagaimana menurut Ki  Hajar Dewantara bahwa aktifitas pendidikan keluarga berkaitan dengan budi pekerti dan laku sosial anak. Hal ini lebih cenderung kepada bagaimana pendidikan pada ranah afektif (sikap)  anak.

Kemudian muncul pertanyaan bagaimana dengan orang tua yang tidak sekolah? Kalau kita beranggapan masyarakat yang rata-rata orang tua masih didominasi para lulusan SD/SMP/SMA, kalaupun ada sarjana masih sedikit sebagai alasan, maka hal tersebut tidak dapat menggugurkan kewajiban peran orang tua/keluarga. Karena yang perlu ditekankan lagi adalah bahwa keluarga memiliki peran utama dalam mendidik sikap dan perilaku yang berkaitan dengan akhlak, adab, karakter, etika, dan moral yang mereka (orang tua) juga sebenarnya sudah memiliki pengetahuan tentang hal baik buruk, benar salah, sopan santun dan seterusnya. Kalaupun orang tua memiliki kompetensi lebih dalam hal pengetahuan atau keterampilan itu berada pada urutan setelahnya.

Pendidikan sikap dan perilaku dapat dilakukan melalui sebuah tradisi yang menjadi salah satu kearifan lokal yang pernah diwariskan para orang tua kita, misalkan sopan santun, adab berbicara dengan orang yang lebih tua, kejujuran, tanggung jawab, dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan di atas pada fase awal anak mencontoh perilaku orang disekitarnya. Jadi keluarga menjadi figur yang senantiasa diperhatikan dan dicontoh oleh anaknya. Misalnya Bagaimana seorang ayah berinteraksi, berkomunikasi dengan ibu atau anggota keluarga lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kebiasaan sikap dan perilaku yang dibangun dalam lingkungan keluarga, semuanya akan menjadi pelajaran langsung bagi usia anak fase awal. Maka tidak ada alasan apakah lulusan SD atau sarjana semuanya dapat menjadi contoh yang baik dihadapan anaknya. Inilah yang disayangkan saat ini, ketika berbicara pendidikan, hanya dianggap sebagai proses menimba pengetahuan, kemudian keterampilan tertentu untuk kebutuhan kerja. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di era global saat ini juga turut memberikan pergeseran paradigma masyarakat dalam mendidik anak.

Islam juga memiliki pandangan yang sama terkait urgensi peran keluarga dalam mendidik anak. Karena orang tua sebagai pendidik utama dan pertama dalam menanamkan aqidah, syari'at, dan akhlakul karimah kepada anak. Orang tua mempunyai peran yang besar dalam pendidikan anak yang dinyatakan dalam hadits bahwa "setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Nasrhani, Yahudi, atau Majusi". Menurut An Nahlawi bahwa dalam konsepsi Islam, keluarga menjadi penanggungjawab utama terpeliharanya fitrah anak. Sehingga bentuk penyimpangan yang dilakukan anak-anak lebih karena ketidakwaspadaan orang tua atau pendidik terhadap perkembangan anak. Kalau kita cermati sejarah para tokoh-tokoh ulama besar dalam Islam, mereka sebagian besar telah selesai pendidikan dalam lingkungan keluarga, yaitu mereka mendapat pendidikan dasar agama dan adab dari orang tua, paman, kakek, dan lainnya yang masih dalam lingkungan keluarga.

Posting Komentar