Kontradiksi Takut Kematian

Daftar Isi

 Menyikapi Kematian dan Kontradiksi Takut Kematian

Gambar Ilustrasi Kematian

Kematian menjadi hal yang pasti akan dijumpai bagi setiap manusia yang sedang hidup. Namun berbicara masalah kematian bagi sebagian orang dianggap sesuatu yang tidak menyenangkan untuk dibahas. Padahal keberadaannya melekat pada manusia semenjak dia hidup di alam raya ini. Sebagaimana ungkapan Heidegger yang berpendapat bahwa sejak manusia lahir maka sejak itu pula manusia sudah dibuntuti dengan maut (Budi Hardiman). Imam Ghazali juga menyampaikan bahwa yang paling dekat dengan manusia adalah maut, karena bisa sewaktu-waktu menghampiri hidup manusia.

Apa itu Kematian?

Secara biologis kematian diartikan sebagai berhentinya proses aktivitas dalam tubuh biologis manusia dengan tanda hilangnya fungsi otak, detak jantung dan tekanan aliran darah serta proses pernafasan yang berhenti Andiansyah dkk (2024). Hampir sama dalam pandangan dunia kedokteran yang menyebut kematian sebagai berhentinya fungsi sirkulasi seseorang (jantung dan pembuluh darah) secara permanen dan tidak dapat dikembalikan lagi. Menurut pendapat para ulama kematian adalah terputusnya hubungan roh dengan jasad, terhalangnya hubungan antara keduanya, dan bergantinya keadaan dari suatu alam ke alam lainnya (Al- Qurtubi, 2005). Perspektif lain seperti filsafat,  tasawuf, psikologi dan disiplin  ilmu lainnya juga banyak bermunculan untuk mendefinisikan tentang apa itu kematian. Namun semuanya memiliki sudut pandang dan persepsi yang berbeda-beda untuk menjelaskannya. Sehingga dalam tulisan ini tidak terlalu banyak menyajikan tentang konsep kematian, namun bagaimana menyikapi tentang kematian itu sendiri dalam perspektif Islam.

Menyikapi Kematian Menurut Gus Baha

Mengutip dari pendapat Kyai Bahauddin (Gus Baha) bahwa Islam mengajarkan untuk banyak Ingat mati, tapi jutru dalam Islam dengan mengingat kematian untuk memotivasi semangat dalam menjalani kehidupan. Karena kita sebagai manusia membutuhkan bekal untuk menghadap Allah, jadi jangan dengan mengingat kematian menjadikan kita loyo, malas, dan menunggu takdir mati, namun harus sebaliknuya untuk semangat menjalani hidup. Karena yang menjadi referensi Allah nanti diakhirat adalah perilaku kita, amal kita di waktu hidup.

. Lebih lanjut Gus Baha mencontohkan bagaimana Nabi mengajarkan do’a terkait dengan kehidupan dan kematian yaitu: “ya Allah, jadikan hidup saya untuk menambah kebaikan, dan kematian saya untuk menghentikan keburukan atau potensi keburukan”. Dengan do’a yang diajarkan nabi ini sehingga orang-orang soleh melihat hidup itu biasa dan melihat mati juga biasa, karena hidup itu sarana menambah kebaikan dan mati adalah akhir keburukan kita atau potensi keburukan kita.

Jadi,  sebagai seorang muslim tidak perlu untuk takut dengan kematian, malah yang perlu ditakuti yaitu takut menjadi hamba yang tidak baik di hadapan Allah (Su’ul Khotimah) sehingga kita jauh dari Allah, karena yang kita dambakan sebagai seorang muslim adalah kedekatan kita dengan Allah atau diridhoi Allah.

Kontradiksi Takut Kematian

Dari penggalan pembahasan menyikapi kematian yang disampaikan gus Baha di atas. yang menarik adalah tidak perlu untuk takut dengan kematian. Tapi kenyataannya kenapa begitu banyak yang masih takut dengan kematian? Takut akan berjumpa dengan kematian biasanya disebabkan kita merasa banyak terlibat dengan berbagai dosa dan maksiat, baik dengan meninggalkan perintah Allah atau menjalankan yang dilarang oleh Allah. Sehingga muncul dalam benak dirinya yang merasa belum siap jika harus bertemu dengan kematian, karena akan menghadap Allah dengan berbagai lumuran dosa yang harus dipertanggungjawabkan.

Kalau begitu mengapa tidak melakukan taubat nasuha dan kembali ke jalan yang benar? Disinilah sering terjadi kontradiksi antara takut kematian dan perilaku manusia itu sendiri, disisi lain mengaku takut dengan kematian untuk menghadap kepada Allah karena sadar diri banyak melakukan keburukan, disisi lain keengganan untuk segera menapaki jalan yang lurus dengan menjalani kebaikan. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dengan mengingat kematian akan membuat kita semangat menjalani kehidupan dengan amal-amal yang baik. jadi ketika perilakunya malah masih konsisten dengan berbagai keburukan dan meninggalkan kewajiban, sebenarnya orang seperti itu melupakan adanya kematian. Makanya dalam Islam dianjurkan untuk  sering-sering mengingat kematian untuk memperbaiki kualitas hidupnya.

Kita sering mendengar ungkapan yang disampaikan para Da’i atau guru-guru kita yaitu “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah akan mati besok”. Pemahaman yang keliru akan memahami ungkapan tersebut dengan bekerja di dunia ini dengan kerja keras siang malam tanpa kenal lelah, lebih parah lagi tanpa kenal baik buruk, benar salah, dan halal  haram dengan menganggap untuk bekal hidup selamanya. Padahal jika melihat redaksinya kalimat tersebut bahwa jika dalam urusan pekerjaan/dunia bisa ditunda atau istirahat terlebih dahulu karena masih ada hari esok lagi (Ingat! Hanya ditunda atau istirahat urusan pekerjaan/dunianya yaaaa, bukan tidak bekerja!). Namun jika urusan bekerja untuk akhirat (ibadah) dianjurkan agar untuk disegerakan dan tidak ditunda atau ditinggalkan karena beranggapan bahwa besok sudah berjumpa dengan kematian yang berarti tidak ada kesempatan lagi.

Lhooo…. bukannnya bekerja keras dianjurkan dalam Islam? Benar, tidak masalah bekerja dengan keras untuk menjadi kaya, namun jangan sampai mengalahkan ibadanya. Bukannya bekerja menafkahi anak istri juga ibadah? Benar juga, namun jangan sampai bekerja dengan melupakan kewajiban lainnya. Sebagai contoh ketika bekerja dari pagi sampai sore atau bahkan malam hari dengan meninggalkan kewajiban shalat 5 waktunya dengan alasan rapat, sibuk, dijalan, capek, kotor, tidak sempat dan lain-lainnya. Contoh lain ketika ramadhan dengan alasan tidak kuat atau lemas karena bekerja, sehingga ditinggalkan kewajiban puasanya. Jika seperti ini, maka kita lebih mengutamakan bekerja dari pada beribadah, padahal nasihat dalam ungkapan itu bagaimana agar mampu menyelaraskan bekerja dan beribadah, semuanya harus sama-sama jalan beriringan, bekerja keras dan juga beribadah, mencari nafkah dengan tidak meninggalkan perintah. Ada salah satu quotes dari Gus Baha yang mengatakan “Bagaimana anda bisa mencari  rizki tetapi melupakan sang pemberi rizki “Ar-Razak”.

Yaaah… kita semakin tersadarkan bahwa seringkali kita merasa bahwa rizki yang kita peroleh atau kita kumpulkan selama ini adalah hasil usaha sendiri. Seringkali  kita melupakan bahwa itu semua hanya pemberian sang Illahi yang dititipkan. Hal ini juga yang menjadi faktor manusia takut dengan kematian, takut untuk meninggalkan semua harta benda yang pernah dikumpulkannya. Karena rasa kepemilikan yang kuat, maka sulit untuk merelakan apabila harus ditinggal mati. Tapi jika memiliki pandangan bahwa kita tidak memiliki apa-apa, maka akan berbeda penyikapannya. Kita mengakui bahwa semua itu hanya titipan sementara yang akan ditinggalkan dan akan dipertanggungjawabkan juga nantinya.

Kontradiksi lainnya yaitu jika kita takut dengan kematian berarti takut dengan kepastian yang sudah ditetapkan Tuhan. Hal ini sebenarnya tidak beralasan, karena kematian merupakan hukum Allah (Achmad Cahodim) yang pasti akan dijumpai setiap manusia yang hidup. Maka sebenarnya yang perlu dilakukan adalah rela pada hukum Allah. Kematian adalah bagian dari ketetapan Allah di jagat raya ini. Selain dari ayat-ayat qauliyah Allah dalam Alqur’an, kematian juga dapat dilihat secara jelas melalui ayat-ayat qauniyah-Nya dengan adanya peristiwa kematian keluarga, tetangga, sahabat atau orang lain yang kita saksikan secara langsung. Jadi kamatian itu pasti dijumpai oleh kita entah di kamar di dalam rumah, di jalan, di  laut, udara, atau tempat lainnya. Dan yang harus kita renungkan bahwa kematian tidak memandang pangkat, jabatan atau umur, banyak kita saksikan ada yang bayi, anak-anak, remaja, orang tua secara random (acak) tidak ada yang bisa memastikan kapan dan dimana maut menghampirinya. Dengan rela pada hukum Allah ini menjadikan manusia secara psikologis tidak dihantui dengan ketakutan yang berlebihan hingga menimbulkan depresi.

Jadi menyikapi kematian disini perlu proporsional, kalau menurut Socrates yang disampaikan Fahruddin Faiz dalam ngaji filsafatnya bahwa “ketakutan akan kematian adalah kebijaksanaan yang pura-pura”, karena kita sebanarnya tidak tahu dibalik kematian tersebut, jangan-jangan kematian merupakan yang terbaik untuk kita. “Ketakutan sejati adalah takut menjadi hamba tidak baik dihadapan Allah (Gus Baha)”.

Wallahu a’lam Bishawab

Posting Komentar