Hauqolah sebagai Permohonan Kekuatan
Pesan
membaca hauqalah
Hauqolah sebagai salah satu pesan yang masih teringat dari orang tua ketika
saya masih kecil yang mempunyai aktifitas ngarit (Merumput) untuk pakan
kambing. Karena postur tubuh dan kekuatan tenaga yang masih kecil terkadang membuat
susah untuk membawa pulang hasil merumput yang cukup berat bagi anak seusia
saya waktu itu. lantas saya mengadu dengan bercerita kepada orang tua saya
bahwa untuk mengumpulkan rumput banyak itu saya bisa, tapi untuk membawa
pulangnya yang susah karena keberatan. Lantas orang tua saya suatu ketika saya
mau berangkat merumput berpesan, nak nanti kalau kamu keberatan mau mengangkat
rumputnya dan tidak ada orang yang membantunya bacalah “Lā haula wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil azdhīmi”.
Saya yang masih kecil dan belum faham lantas bertanya: biar kenapa pak? Orang
tua saya menjawab bahwa dengan membaca kalimat tersebut nanti Allah akan
memberikan kekuatan kepada kita. Beliau bercerita dulu dikasih amalan tersebut
dari seorang Kyai. Singkat cerita saya
yang masih polos dengan percaya diri merumput seperti biasanya. Alhasil ketika akan pulang mau mengangkat rumput ke
atas kepala saya merasa keberatan dan beberapa kali gagal. Akhirnya saya
mencoba baca lafadz yang diajarkan tadi, ehhh dan ternyata masih gagal
juga (hehehe). Akhirnya istirahat sejenak lalu mencoba lagi sambil membaca
terus menerus dan memakai berbagai teknik mengangkat beban rumput yang cukup
berat bagi saya. Kemudian saya agak sedikit merenung, kayaknya kalau nggk kuat yaaa nggk kuat juga dan saya anggap
angin lalu saja kalimat tersebut.
Makna Hauqalah
Seiring
berjalannya waktu ternyata sering dijumpai orang-orang yang mambaca kalimat hauqalah,
entah dibaca sebagai dzikir setelah selesai shalat, atau di dalam bacaan orang ketika
tahlilan, dan beberapa rangkaian dzikir lainnya. Kemudian saya tertarik
untuk mengulik dari beberapa pendapat tentang lafadz hauqalah tersebut. Berikut ini adalah
lafadz hauqalah dan terjemahannya:
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ
Lā haula wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil azdhīmi
Kalau diartikan dalam bahwasa jawa ketika ngaji waktu kecil dulu kurang lebih seperti berikut ini:
لَا حَوْلَ(Ora ono rekodoyo biso sumingkir saking maksiat iku maujud)
وَلَا قُوَّةَ (Lan ora ono kuat biso ngibadah iku maujud)
إِلَّا بِاللهِ (Kejobo kelawan pitulungane Gusti Allah)
العَلِيِّ(Sifate Allah kang Moho Luhur)
العَظِيْمِ(Sifate Allah kang Moho Agung)
Jika menggali makna Hauqalah, terdapat ragam penafsiran
dari para ulama. Salah satu penafsiran yang disampaikan oleh Imam Nawawi bahwa Hauqalah adalah kalimat yang penuh kepatuhan dan kepasrahan diri (kepada
Allah), dan seseorang tidak memiliki daya untuk menolak keburukan dan juga tidak
memiliki kekuatan untuk menarik kebaikan, kecuali dengan kehendak Allah Swt. Menurut
Muhammad bin ‘Abdurrauf al-Munawi bahwa dalam kalimat hauqalah terdapat “pengakuan”
seseorang ketika berlepasnya diri dari daya dan kekuatan dirinya sendiri,
kemudian menyandarkan daya dan kekuatan hanya kepada kehendak Allah swt. Berarti
seseorang menganggap dirinya tidak bisa melakukan apapun tanpa disertai
pertolongan Allah. Dan menurutnya, ini merupakan prinsip Tauhid yang
sebenarnya, yaitu menyandarkan semua urusan kepada Allah swt semata.” (Sunnatullah, 2023).
Senada dengan pendapat di atas, menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani makna kalimat hauqalah merupakan penyadaran diri kita bahwa segala sesuatu pada akhirnya kembali kepada Allah. Ketaatan seseorang untuk melakukan kebaikan pada hakikatnya juga berasal dari pertolongan Allah, begitu juga menghindari keburukan juga merupakan penjagaan dari Allah juga. Lalu muncul pertanyaan yang sering menjebak kita, apakah kita pasrah saja dengan takdir, kalau semuanya berasal dari Allah?. Jika mengutip dari pendapat Prof. Quraish Shihab manusia tetap diwajibkan berusaha, karena menurutnya bahwa manusia telah diberi kemampuan oleh Allah yang istilah lainnya disebut kasab. Jadi kemampuan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan dan jika Allah merestui apa yang diusahakannya maka akan berhasil, begitu juga sebaliknya, jika Allah tidak merestuinya, maka tidak berhasil. Namun, apapun hasilnya tetap kembali kepada Allah.
Hauqolah sebagai Permohonan Kekuatan
Kembali lagi ke cerita di awal, bahwa ternyata pesan orang tua
saya ketika mengalami kesulitan disuruh membaca hauqolah ternyata baru
tahu ada hubungannya sekarang. Jadi hauqalah merupakan salah satu dzikir
yang membuat penyadaran dalam diri kita bahwa kita ini lemah. Karena kita lemah
tersebut maka kita sandarkan segala sesuatunya kepada Allah sebagai sumber sekaligus
pemilik Daya. Jika kita merenungkannya dalam dzikir hauqolah, maka
semakin sadar kita bahwa kita harus terus berusaha dan memohon kepada Allah
untuk diberikan kekuatan dalam ketaatan atau kebaikan, dan kita memohon
untuk diberi kekuatan menghindar dari maksiat atau berbagai keburukan.
Sebagaimana menurut Quraish Shihab bahwa hauqalah jangan hanya
diucapkan ketika terzolimi dan tidak mampu membela diri, tetapi ucapkanlah saat
akan melakukan kegiatan apapun karena ucapan itu permohonan kekuatan dari
Allah.
Apa
kira-kira hauqalah bisa untuk memohon kekuatan ketika ngarit (merumput)
sebagaimana pesan oran tua saya ya……? Looo yang namanya memohon kekuatan
sah-sah saja ketika mau melakukan suatu kegiatan, termasuk mengangkat beban
berat, kalau dikabulkan ya berarti Allah merestui, kalau tidak dikabulkan kita husnuzhon
saja bahwa itu juga baik untuk kita. Masa iya kita memohon sambil memaksa
Tuhan, kan tidak etis. Jadi yang saya fahami sekarang yang dimaksud pesan orang
tua saya untuk membaca hauqalah ketika menemui kesulitan pada intinya
kita memohon kepada Allah untuk diberikan kekuatan, namun bukan hanya ketika
menemui kesulitan saja, tetapi dalam berbagai hal dianjurkan untuk senantiasa
mengucapkan hauqalah. Dengan mengucapkan hauqalah berarti kita
mengakui dan menyadari kelemahan diri, maka meminta kepada Allah agar diberikan
kekuatan. Dan keutamaan dzikir hauqalah juga banyak ditemukan
melalui beberapa hadits Nabi. Kalaupun ada yang memahami dari sudut pandang
yang berbeda, misalnya dari sisi mistis pada lafadz hauqalah tersebut,
penulis kurang faham juga, jadi mungkin bisa dicari pada sumber lainnya.
Wallahu
a’lam bishawab
Posting Komentar