Persepsi “Ngaji” ku dibatasi Umur
Terputusnya Waktu “Ngaji” di Umur Remaja
“Ngaji” merupakan
aktifitas belajar yang biasa dilakukan oleh anak-anak di Desa saya untuk mulai
mengenalkan masalah agama Islam seperti belajar membaca Alqur’an, thaharoh, shalat,
dan lain-lainnya. Kalau orang-orang tua yang melaksanakan rutinan mingguan atau
bulanan dengan kegiatan membaca yasin dan tahlil, maulid, shalawat atau manaqib
dilanjutkan dengan pembacaan kitab-kitab tertentu biasanya disebut “pengajian”.
Istilah ngaji lebih
familiar untuk masyarakat dalam aktifitas belajar agama Islam. Kamus Bahasa
Indonesia mengartikan pengajian sebagai pengajaran agama Islam, seperti
pengajaran membaca Alquran dan menanamkan norma agama.
Berbeda dengan pengkajian yang diartikan sebagai proses atau cara penyelidikan
atau penelaahan tentang suatu pelajaran atau perkara secara mendalam (https://kbbi.web.id/kaji). Lebih lanjut menurut budayawan
terkenal Emha Ainun Najib atau yang lebih akrab di sapa “Cak/Mbah Nun”
menjelaskan bahwa mengkaji memiliki sifat
intelektual-akademis, sedangkan mengaji tujuannya adalah martabat dan ilmu yang
manfaat secara batin (https://khazanah.republika.co.id).
Sepintas tentang konsep
pengajian di atas hanya sebagai pengantar dan mungkin banyak perbedaan lagi
dalam memahami makna mengaji. Pada tulisan ini saya tidak membahas mendalam apa
itu “pengajian dan pengkajian”, tetapi ada fenomena yang mungkin perlu untuk
didiskusikan bersama tentang “Ngaji” yang sering dijumpai dalam masyarakat
Islam dari anak-anak hingga orang tua.
Salah satu fenomena yang
terjadi saat ini di linkungan saya dan sekitarnya banyak terjadi ngaji hanya
diidentikkan dengan anak-anak dan orang tua. Seperti ada waktu ngaji yang
terputus ketika memasuki usia remaja hingga dewasa. Ngaji hanya dilakukan
ketika anak memasuki usia PAUD atau kelas 1 SD hingga kelas 6 SD, kalaupun ada usia SMP hanya sebagian kecil
saja. Hal ini menarik untuk menjadi bahan diskusi bersama bagaimana mengatasi
terputusnya pada usia remaja dan dewasa tersebut.
Sebagian besar remaja
ketika memasuki usia SMP kelas 7/8/9 mulai banyak yang menghilang dari
aktifitas “Ngaji” ditempat biasanya mereka mengaji seperti di musholla, masjid,
atau di rumah guru ngaji. Dengan berbagai faktor yang melatar belakanginya
seperti sudah mulai nongkrong/berkumpul dengan teman sebayanya, atau mulai
kenal dengan dunia asmara. Namun banyak yang ketika ditanya sudah mulai malu
karena sudah remaja atau dewasa dan yang ngaji itu diidentikkan oleh mereka
dengan dunia anak-anak.
Persepsi yang keliru ini menjadikan aktifitas “ngaji”
menggugurkan waktu belajar mereka di usia remaja. Lantas muncul pertanyaan
“Apakah sudah cukup bisa dan pandai membaca Alqur’an atau mempraktikan tentang
fikih seperti thaharoh, shalat beserta syarat rukunnya?” tentu jawabannya belum,
karena agama Islam itu sangat luas kajiannya, bahkan tidak jarang diantara
mereka yang belum bisa membaca Alqur’an dan thaharah/shalat sesuai ketentuan
fikihnya. Lantas ada pertanyaan lagi, kan ada Ikatan Remaja Masjid (IRMAS)
sebagai wadah remaja untuk melanjutkan jenjang ngaji mereka? Memang benar IRMAS
disebagian desa aktif untuk kegiatan rutinan yang dilakukan biiasanya hanya 1
minggu sekali. Itupun yang dilakukan biasanya rutinan pembacaan maulid
(shalawatan/hadroh/terbangan) atau rutinan pembacaan yasin dan tahlil. Sebagian
lagi mereka belajar berorganisasi dalam lingkup kecil dalam membangun mental
seperti latihan sebagai pembawa acara atau kultum. Memang ini sudah cukup baik
dalam konteks saat ini dimana dunia teknologi modern menawarkan berbagai hal
lain yang penuh dengan aktifitas maya-nya.
Namun sekali lagi yang
ditekankan di sini adalah aktifitas “ngaji” mereka hilang. Ketika usia sudah
mulai memasuki senja banyak yang tersadarkan dan kemudian mencari tempat
mengaji khusus untuk orang tua-tua. Namun ada pula yang sudah putus asa hingga
pasrah dan tidak lagi untuk belajar dengan alasan malu yang dipertahankan. Lalu
bagaimana agar mereka (para remaja) mau untuk mengaji kembali?
Formulasi Tempat dan Pendekatan Ngaji Remaja
Membuat wadah atau tempat
ngaji khusus untuk remaja-remaja bisa dilakukan dengan materi lanjutan atau
pengulangan bagi yang belum bisa atau lancar membaca Alqur’an. Jadi mereka
dikumpulkan dengan teman-teman seusianya jika alasannya adalah malu ngaji
dengan berkumpul bersama anak-anak. Namun, jika alasannya berbeda seperti sudah
mulai mengenal dunia nongkrong bareng atau ngumpul bareng teman-temannya
dipinggir jalan atau di tempat lain maka perlu pendekatan yang berbeda. Penulis
pernah beberpa kali untuk mengumpulkan dengan berbagai macam pendekatan dan
kegiatan dengan para remaja-remaja. Ternyata hasilnya masih jauh dari harapan
untuk sekedar berkumpul saja mereka susah dengan berbagai alasan.
Sepertinya masih lebih
mudah untuk mengajak “ngaji” para orang tua walaupun faktor capek kerja, usia
sudah tua, dan waktunya terbatas menyelimuti mereka. Karena faktor “kesadaran”
tentang kebutuhan terkait agama itu
penting menyebabkan orang tua lebih mudah. Berbeda dengan remaja yang
masih belum matang dalam memandang agama sebagai kebutuhan manusia. Inilah tantangan
bersama yang masih perlu dijawab untuk
memformulasikan tempat dan pendekatan ngaji bagi remaja seperti apa dan
bagaimana?.
Optimalisasi Peran Orang Tua dalam Pendidikan Agama di Usia anak-anak
Peran orang tua dalam
menjaga masa anak-anak agar golnya terkait membaca Alqur’an praktik thaharah,
shalat, dan dasar-dasar Islam lainnya tercapai. Orang tua bisa mengajarinya di
rumah sendiri jika memiliki kompetensi dan cukup waktu. Jika orang tua tidak
memiliki itu, maka pusatkan perhatian terhadap anak masalah “ngaji” ini
diutamakan dengan menitip/menghantar di tempat “ngaji”
(TPA/Musholla/Masjid/rumah guru ngaji). Karena jika masa anak-anak ini lewat
dan tidak bisa mebaca Alqur’an, wudhu, shalat dan hal-hal dasar lainnya maka
akan susah pada usia selanjutnya.
Peran orang tua sangatlah
penting dalam bab mendidik anak, terkhusus masalah agama Islam. orang tua tidak
boleh hanya berpangku tangan membiarkan anaknya tumbuh berkembang tanpa
“ngaji”. Jika belajar dari sayidina Ali bin Abi Thalib kita sebagai orang tua
dianjurkan untuk menjadikan anak kita
raja diusia 0-7 tahun, dan penjarakan dia ketika usia 8 sampai 14 tahun. Dan jadikan sahabat ketika
usia 15-21 tahun. Maksud dijadikan raja dimana anak usia ini yang masih belajar
dengan berbagai hal serta memerlukan kasih sayang tanpa “amarah”, keinginan
yang harus dituruti dengan kadar kemampuan orang tua. Pokoknya seperti seorang
raja yang penuh dengan berbagai pelayanan dari abdi-abdinya. Sedangkan yang
dimaksud dipenjarakan disini orang tua lebih tegas lagi dengan perkara
pendidikan agama anak (akidah, akhlak, Alqur’an, Fikih). Tidak boleh
ditawar-tawar dengan alasan apapun. Ketika masa ini lewat maka ketika memasuki
usia remaja ke dewasa pendekatan pendidikan yang dilakukan juga berubah. Mereka
tidak sesuai lagi jika di didik seperti raja yang selalu dituruti, atau seperti
tahanan dengan berbgai keterkekangan. Tapi pendekatan ala sahabat yang
membutuhkan komunikasi santai dan saling tukar pendapat tentang bebagai hal.
Menurut penulis, perlu
sedikit pendidikan yang keras disini dari orang tua pada usia 8-14 tahun jika
anaknya sedikit bandel. Kalau meminjam istilah Mbah Nun “keras” itu harus dalam
mendidik, yang tidak diperbolehkan menurutnya adalah “kejam”. (istilah ini akan
dibahas tersendiri nanti). Mungkin sebagian orang tua yang mampu dan mau akan
mempercayakan pendidikan agama anaknya di pondok pesantren. Jika tidak mau dan
tidak mampu maka tugasnya kembali kepada orang tua anak tersebut. Dan tanggung
jawab dalam mendidik anak tidaklah mudah, perlu usaha yang cukup maksimal dan
terus menerus, apalagi dengan berbagai
tantangan yang terjadi pada dunia anak saat ini dengan tidak terlepasnya dari
gangguan smartphone nya orang tua.
"والله أعلم بالصواب"
Posting Komentar