Pendidikan Inklusif

Daftar Isi

Pendidikan Inklusif di Indonesia

Gambar Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif menurut Unesco merupakan Education for All yang berarti bahwa semua peserta didik berpartisipasi dan berprestasi bersama, setiap orang memperoleh hak asasi mereka untuk mengakses pendidikan yang bermutu sepanjang hidup tanpa membedakan jenis kelamin, etnis atau sosial, bahasa, agama, kebangsaan, kondisi ekonomi, atau kemampuan.(UNESCO, 2024). Pendidikan inklusi merupakan sebuah model pendidikan yang memberikan kesempatan bagi siswa yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama siswa lainya yang usianya sama dan tidak membedakan sosial, emosional, budaya, dan bahasa (Jauhari, 2017).  Jika merujuk pada konsep pendidikan inklusif tersebut maka pendidikan inklusif diartikan suatu sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan belajar yang sama tanpa pembedaan dan pemisahan peserta didik karena fisik, mental, kompetensi, sosial, budaya, ekonomi dan agama.

Pemerintah Indonesia sendiri juga memperhatikan masalah pendidikan inklusif yang  diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik  Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas, 2009). Lebih lanjut dijelaskan dalam peraturan tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan kelainan adalah seperti peserta didik tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, dan tunaganda (permendiknas, 2009).

Selain itu pendidikan inklusif juga di  atur dalam Pendidikan inklusif juga dituangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 pasal 51 yang menyatakan bahwa “anak  yang  menyandang  cacat  fisik  dan atau  mental  diberikan  kesempatan  yang  sama  dan akasessibilitas  untuk  memperoleh pendidikan  biasa dan pendidikan  luar  biasa dengan  menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. Jadi, Pendidikan inklusif ini sejalan dengan amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” (UUD 1945 Pasal 31 ayat 1).

 

Tujuan Pendidikan Inklusif

Tujuan penyelenggaraan Pendidikan inklusif di Indonesia diantaranya:

  1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
  2. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif (Permendiknas, 2009);
  3. Membantu akselerasi program wajib belajar pendidikan dasar;
  4. Membantu menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah serta membantu untu meningkatkan  mutu pendidikan dasar;
  5. Sebagai perwujudan  amanat Undang-Undang Dasar 1945 (Meka dkk, 2023).

 

Prinsip Pendidikan Inklusif

Prinsip pelaksanaan pendidikan inklusif adalah fleksibilitas (BSKAP dan Kemendikbudristek RI, 2022). Dengan berpegang pada fleksibilitas diharapkan bisa diadaptasi sesuai dengan kondisi, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik. fleksibiltas yang dimaksud yaitu dalam hal kurikulum, pembelajaran, lingkungan belajar, dan evaluasi.

Kurikulum yang fleksibel yaitu menyesuaikan isi, materi, kompetensi yang dicapai sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik. selanjutnya pembelajaran yang fleksibel berkaitan dengan penyesuaian pendekatan, strategi, metode, teknik belajar yang digunakan pendidik terhadap anak yang berkebutuhan khusus. Fleksibilitas lingkungan belajar merupakan pengaturan suasana belajar peserta didik, seperti pengaturan tempat duduk, dimana dan dengan siapa saja  belajar, termasuk alat bantu dan sumber belajar untuk peserta didik berkebutuhan khusus (BSKAP dan Kemendikbudristek RI, 2022). Sedangkan fleksibilitas evaluasi dilakukan penyesuaian dalam menilai peserta didik berkebutuhan khusus yang berbeda dengan peserta didik biasanya (Jauhari, 2017). Dalam pandanagan Soodak & Podell penilaian pendidikan inklusif tidak hanya terfokus pada pengukuran hasil akademis namun, juga memperhatikan perkembangan keterampilan sosial, emosional, dan kemampuan adaptasi peserta didik (Nadhiroh & Ahmadi, 2024).

 

Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Indonesia

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyampaikan bahwa sekolah reguler yang yang menyelenggarakan sekolah inklusi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada tahun 2021 berjumlah 35.802 sekolah, tahun 2022 berjumlah 40.928 sekolah dan tahun 2023 berjumlah 44.477 sekolah. Sedangkan total siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah tersebut juga mengalami peningkatan. Data siswa berkebutuhan khusus tahun 2021 berjumlah 126.458 siswa dan pada tahun 2023 berjumlah 146.205 siswa. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan dari  segi kuantitas baik dari jumlah sekolah inklusi dan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti sekolah (Fauzan, Antaranews 2023).

Walaupun secara kuantitas meningkat, jika merujuk pada data statistik tentang jumlah perkiraan disabilitas anak dengan rentang usia 5-19 tahun bahwa presentase anak penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan formal baru sebesar 12.26% (Menko PKM, 2022: https://www.kemenkopmk.go.id/pemerintah-wajib-penuhi-hak-pendidikan-inklusif bagi-penyandang-disabilitas). Artinya masih banyak anak berkebutuhan khusus lainnya yang masih belum mengikuti pendidikan formal.

Secara konseptual maupun pengaturan pendidikan Inklusif sudah dilakukan berbagai usaha oleh pemerintah maupun pihak terkait lainnya, namun tentu saja masih banyak terjadi problematika dalam implementasinya. Beberapa problematika penyelenggaraan inklusif di Indonesia diantaranya:

  1. Penyelenggaraan pendidikan inklusif masih belum optimal disebabkan budaya inklusif disekolah yang belum terbangun dengan baik.
  2. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait konsep pendidikan inklusif.
  3. Kurangnya sarana prasarana yang aksesibel di sekolah (Arifa, 2024).
  4. Kurangnya Guru Pendamping Khusus (GPK) baik secara kuantitas dan kualitas.
  5. Masih rendahnya kemampuan dalam adaptasi kurikulum dan pembelajaran.
  6. Belum maksimalnya media pembelajaran yang aksesibel (Menko PMK, 2022).
Dari berbagai problematika penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlunya pemahaman yang komprehensif serta kolaborasi berbagai pihak seperti pemerintah, perguruan tinggi, praktisi dan para pakar pendidikan, masyarakat, dan pihak lainnya untuk turut serta mewujudkan sekolah inklusif yang baik bagi seluruh siswa yang memiliki kebutuhan khusus.

Posting Komentar