Sejarah Perkembangan Institusi-Institusi Pendidikan Islam

Daftar Isi

Sejarah Perkembangan Institusi-Institusi Pendidikan Islam: Periode Klasik dan Pertengahan


A.     Pendahuluan

Institusi Pendidikan Islam secara historis sudah ada beberapa abad yang lalu dimulai pada masa Nabi Muhammad Saw di Makkah dilanjutkan di Madinah yang selanjutnya diteruskan oleh khulafaul Rasyidin, dinasti Umayyah, Abbasiyah dan seterusnya sampai sekarang ini. Dalam perjalanannya institusi pendidikan Islam mengalami pertumbuhan perkembangan menyesuaikan dengan zaman sebagai respon ummat Islam terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Pada masa dinasti abbasiyah yang sering disebut masa keemasan Islam ditandai pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang sagat pesat tidak terlepas dari adanya institusi pendidikan Islam ketika itu. Di Indonesia intitusi pendidikan Islam juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Mulai dari surau, langgar, dayah, pesantren sampai munculnya sekolah dan madrasah serta perguruan tinggi yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

Kedudukan institusi pendidikan Islam sendiri memiliki peran yang penting yaitu sebagai pusat gerakan intelektual, sosial, kebudayaan dan peradaban Islam. Institusi pendidikan Islam selain sebagai wadah dalam pengajaran dan pendidikan Islam juga merupakan media dalam menyebarkan Islam. Dengan semakin banyaknya intitusi pendidikan Islam juga semakin bertambah tantangan intitusi pendidikan Islam dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti adanya globalisasi dan saat ini yang disebut sebagai revolusi industri 4.0 juga menjadi tantangan institusi pendidikan Islam dalam mengelola dan mempersiapkan generasi-generasi penerus bangsa yang siap untuk menghadapi berbagai problematika yang ada.

Tulisan ini ingin mengkaji tentang Sejarah Perkembangan Institusi-Institusi Pendidikan Islam periode klasik dan pertengahan berdasarkan sumber-sumber dari buku, jurnal, internet, dan dokumen lainnya. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan institusi pendidikan Islam periode klasik dan pertengahan yang bisa dijadikan sebagai teladan dan pelajaran untuk menghadapi era modern saat ini.


B.     Periodeisasi Sejarah dalam Islam

Berbicara masalah sejarah maka akan membicarakan suatu yang berkaitan dengan waktu yang lampau. Maka sebelum membahas institusi pendidikan Islam pada masa klasik dan pertengahan terlebih dahulu kita petakan periodeisasi dalam sejarah Isalm menurut beberapa pendapat. Menurut Nasution secara garis besar sejarah Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu klasik, pertengahan, dan modern (Nasution, 2014: 5). Periode klasik (650-1250 M) merupakan zaman kemajuan dan dibagi ke dalam dua fase. Fase pertama, ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). masa ini daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India Timur. Dan masa ini pula berkembang dan memuncaknyanya ilmu pengetahuan (agama dan non agama) serta kebudayaan.  Fase kedua, fase disintegrasi (1000-1250 M) dimana keutuhan umat Islam dalam bidang politik mulai pecah dan Baghdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu di tahun 1258 M. Periode Pertengahan (1250-1800 M), pertama, fase kemunduran (1250-1500 M) ditandai dengan meningkatnya desentralisasi dan disintegrasi. Kedua, fase tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Periode Modern (1800 M dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam (Nasution, 2014: 5-6).

Menurut Zuhairini dkk  membagi pertumbuhan dan perkembangan pendidikan ke dalam 5 periode:

  1. Periode pembinaan pendidikan Islam, yang berlangsung zaman nabi Muhammad Saw.
  2. Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak Nabi Muhammad Saw wafat sampai akhir masa bani Umayyah, yang diwarnai perkembangan ilmu-ilmu naqliyah.
  3. Periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam, dari permulaan bani Abbasiyah sampai jatuhnya Baghdad, diwarnai berkembangnya ilmu akliah dan timbulnya madrasah serta memuncaknya kebudayaan Islam.
  4. Periode kemunduran pendidikan Islam, sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya mesir ke tangan Napoleon.
  5. Periode pembaharuan pendidikan Islam, berlangsung sejak pendudukan mesir oleh Napoleon sampai masa kini (Zuhairini, 2008: 13).

Berdasarkan periodeisasi di atas, pembahasan tentang institusi pendidikan Islam periode klasik dan pertengahan pada penulisan ini mejadi batasan tersendiri. Namun dalam pembahasan ini periode klasik akan dimulai dari awal Islam yaitu pada masa Nabi Muhammad Saw sampai akhir masa bani Abbasiyah (650-1250 M),, karena pada dasarnya pada nabi Muhammad Saw sebagai cikal bakal pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam selanjutnya,  dan untuk periode pertengahan (1250-1800 M) yaitu pada masa tiga kerajaan besar.

 

C.     Institusi-Institusi Pendidikan Islam periode Klasik dan Pertengahan

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam menuntut adanya institusi atau lembaga pendidikan Islam sebagai wadah dalam proses pendidikan. Institusi atau lembaga Pendidikan dan terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan dari periode klasik hingga sekarang. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut diantaranya sebagai berikut:


1.   Darul Arqam

Darul Arqam adalah lembaga pendidikan Islam pertama yang berada di Makkah yang keadaannya amat sederhana. Yaitu dengan menggunakan sebagian dari ruangan rumah milik seorang pengikut Rasulullah Saw. yang bernama al-Arqam al-Safa. Bilangan kaum muslimin yang hadir pada masa awal Islam ini masih sangat kecil, tetapi semakin bertambah hingga menjadi 38 orang yang terdiri dari para golongan bangsawan Quraisy, pedagang, dan hamba sahaya. Di Dar al-Arqam, Rasulullah Saw. mengajarkan wahyu yang telah diterimanya kepada kaum muslimin. Beliau juga membimbing mereka menghafal, menghayati, dan mengamalkan ayat-ayat suci yang diturunkan kepadanya (Nata, 2012: 193).

Menurut abuddin Nata visi pendidikan di Makkah atau sebelum hijrah adalah "unggul dalam bidang akidah dan akhlak sesuai dengan nilai-nilai islami", dengan misi pertama, memperkuat dan memperkukuh keperibadian nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul Allah yang memiliki akidah, keyakinan yang kuat, berakhlak mulia, serta berkomitmen dalam menegakkan kebenaran. Kedua, memberikan bimbingan kepada nabi Muhammad Saw dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengemban misi kebenaran. Ketiga, memberikan peringatan dan bimbingan akhlak mulia kepada keluarga dan kerabat dekat nabi Muhamad Saw. Tujuan pendidikan Islam di makkah adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia sebagai landasan bagi mereka dalam menjalani kehidupannya dalam bidang social, ekonomi, politik, dan budaya (Nata, 2011: 79-80).

Visi misi dan tujuan pendidikan pada masa Rasulullah d Makkah memang tidak bisa dilepaskan dari keadaan masyarakat Makkah pada waktu itu yang mayoritas masih menganut agama nenek moyang yang menyembah berhala dan masih belum mengenal agama Islam. Nabi Muhammad Saw melakukan pendidikan sesuai dengan keadaan masyarakat Makkah ketika itu yang masih banyak menolak dari dakwah nabi. Di Darul Arqam inilah kaum muslimin yang masih sangat sedikit mengikuti peremuan dan pengajaran yang dilakukan nabi dengan jumlah 38 orang yang terdiri dari golongan bangsawan Quraisy, pedagang, dan hamba sahaya (Nata, 2011: 87) Masa ini sebagai awal perjuangan nabi ketika diangkat sebagai rasul dalam mengemban amanah-amanah dari Allah Swt maka sebagaimana yang dinyatakan zuhairini dkk pendidikan pada masa nabi ini disebut juga sebagai periode pembinaan dalam pendidikan Islam.

 

2.   Masjid

Masjid pada masa nabi Muhammad Saw setelah hijrah ke Madinah bukan hanya menjadi shalat berjama'ah saja, namun sebagai pusat pendidikan kaum muslimin. Di dalam masjid nabi  mengajar dan memberi khtbah dalam bentuk halaqah dimana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendegar dan Tanya jawab tentang agama dan dan kehidupan sehari-hari (Nata, 2011: 97)

Perluasan wilayah Islam dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan juga berdampak terhadap pendidikan di masjid-masjid.  Menurut Stanton yang dikutip Shobahussurur menyatakan Halaqah yang kebanyakan diselenggarakan di masjid ada dua tipe, yaitu halaqah di masjid jami’ dan halaqah di masjid non-jami’. Tipe pertama atas biaya negara dan berada dalam pengawasan pemerintah setempat. Di dalamya dikaji ilmu-ilmu agama secara umum pada tingkat tinggi. Tipe kedua diselenggarakan di masjid kecil yang tidak digunakan untuk salat Jum’at. Masjid-masjid itu biasanya eksklusif, dibangun untuk jamaah mazhab tertentu (Shobahussurur, 2015: 105)

Mehdi Nakosteen dalam Shobahussurur mengatakan disiplin ilmu yang diajarkan dalam halaqah tersebut meliputi ilmu-ilmu keislaman (hadits, tafsir, fikih, ushul fikih, nahwu, sharf, dan sastra arab). Ilmu-ilmu non-agama sedikit sekali diajarkan. Filsafat Yunani, sains, dan humaniora sedikit sekali kalau tidak dikatakan tidak diminati oleh masyarakat umum. Di masa Abbasiyah, abad ketiga Hijriah, ada lebih dari 3.000 masjid yang menyelenggarakan kajian dalam bentuk halaqah. Pada abad ke-14 M ada 12.000 masjid di Alexandria. Masjid al-Mansyur di Baghdad mempunyai 40 halaqah. Masjid-masjid itu menjadi pusat transmisi ilmu pengetahuan dari masa ke masa. masjid-masjid seperti al-Azhar, al-Hamra, Kairo, Damaskus, dan lain-lain menunjukkan peran luar biasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan (Shobahussurur, 2015: 105-106)

Peran dan fungsi masjid dalam perkembangannya terus mengalami perubahan dalam pendidikan Islam dengan menyesuaikan keadaan pada masanya. Misalya pada masa Rasulullah Saw masjid difungsikan lebih luas dari masa sekarang karena belum ada institusi-institusi lain yang tumbuh, jadi peranan masjid masa rasulullah selain untuk beribadah juuga dipakai dalam mengatur strategi perang, masalah politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pada masa keemasan masjid juga memiliki peran dalam perkembangan ilmu pengetahuan selain mengajarkan ilmu-ilmu agama. Bila kita lihat untuk sekarang ini masjid sebagian besar yang ada di Indonesia lebih cenderung hanya untuk digunakan kegiatan ibadah shalat berjamaah, zdikir dan PHBI. Walaupun ada sebagian masjid yang juga digunakan sebagai sarana pendidikan dan kegiatan sosial, namun hanya sebagian kecil dari masjid yang ada saat ini. Sebenarnya melakukan sebuah rekonstruksi dan melakukan tinjauan ulang dengan menjadikan masjid bukan hanya sebagai tempat shalat berjamaah dan zdikir, namun bisa juga difungsikan sebagai kegiatan sosial dan paling tidak menjadikan sebagai tempat pendidikan secara maksimal yang dapat menunjang pendidikan formal dan informal.

 

3.   Al-Shuffah

Shuffah merupakan ruangan atau bangunan yang bersambung dengan masjid. Suffah dapat dilihat sebagai sebuah boarding school, karena kegiatan pengajaran dan pembelajaran dilakukan secara sistematik dan teratur. Sebagai contoh, Masjid Nabawi yang mempunyai Suffah digunakan untuk majelis ilmu. Lembaga ini juga menjadi semacam asrama bagi para pelajar yang tidak atau belum mempunyai tempat tinggal permanen. Mereka yang tinggal di Suffah disebut Ahl al-Suffah (Nata, 2012: 197). Jadi istilah boarding school merupakan istilah yang sudah lama muncul dalam pendidikan Islam yan saat ini mulai banyak tokoh-tokoh pendidikan menggagas system pendidikan seperti ini. Termasuk pesantren yang ada di Indonesia merupakan lembaga pendidikan tua yang sudah menerapkan system boarding school dengan istilah asrama untuk para santri. Pada masa nabi Muhammad Saw shuffah  digunakan untuk mengajarkan para siswa mebaca dan menghafal al-Qur'an secara benar dan hokum Islam di bawah bimbingan langsung nabi. Pada masa ini setidaknya ada Sembilan shuffah yang tersebar di kota madinah, dan dalam perkembangan beikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik (Nata, 2004: 32).

 

4.   Kuttab

Kuttab merupakan tempat belajar menulis, pada masa awal Islam sampai pada era Khulafaur Rasyidin dalam pendidikan di Kuttab secara umum tidak dipungut bayaran alias gratis, akan tetapi pada masa dinasti Umayyah ada di antara pejabat yang sengaja menggaji guru dan menyediakan tempat untuk proses belajar mengajar. Adapun materi yang diajarkan adalah baca tulis yang pada umumnya diambil dari syair-syair dan pepatah arab (Nizar, 2007: 7). Sedangan menurut Hasan Asari yang dikutip Shobahussurur menyatakan Kuttab adalah lembaga pendidikan tingkat dasar yang sudah ada sejak Nabi SAW. Biasanya dibuat di rumah guru atau di istana untuk keluarga istana. Di dalam lembaga ini diajarkan baca tulis alQur’an, diajarkan ilmu-imu agama, diajarkan pula seni berpidato, etika dan estetika, sejarah, dan tradisi (Shobahussurur, 2015: 105)  sebelum kedatangan Islam bangsa Arab sudah mendirikan Kuttab dengan tujuan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak. Karena kurangnya perhatian bangsa Arab terhadap lembaga pendidikan ini maka hanya sedikat saja orang-orang Arab yang menguasai baca tulis pada saat Islam datang. Rasulullah Saw juga pernah memerintahkan tawanan perang Badar yang mampu membaca dan menulis untuk mengajar sekitar sepuluh orang anak Muslim sebagai syarat membebaskan diri mereka tawanan (Nata, 2012: 198).

Istilah kuttab menurut Abuddin Nata sama dengan Maktab dengan alasan karena memiliki kata dasar yang sama yang artinya menulis, dan Kuttab/Maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat dilangsungkan kegiatan tulis menulis. lebih lanjut Nata menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut merupakan istilah yang sama dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran al-Qur'an dan pengetahuan agama tingkat dasar (Nata, 2004: 33) dalam perkembangan selanjutnya Kuttab tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama saja (religious learning) namun juga mengajarkan pengetahuan umum (secular learning). Hal ini disebabkan karena adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya helenisme yang membawa perubahan kurikulum pendidikan Islam sejak abad ke-8 M (Nata, 2004: 33-34)

 

5.   Istana (Al-Qushur)

Istana (Al-Qushur) merupakan pendidikan bagi calon-calon putra mahkota (Karolina, 2015). Pendidikan di istana bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan umum, melainkan juga mengajarkan tentang kecerdasan, jiwa, dan raga anak. Selain itu pendidikan di istana juga mengajarkan tentang adab, al-Qur'an, Hadits, syair-syair yang terhormat, riwayat hukama, membaca, menulis, berhitung, dan ilmu-ilmu lain (Nata, 2011: 135). Khalifah ketika itu menjadikan istana sebagai lembaga pendidikan Islam sebagai usaha dalam membekali kepada putra mahkota yang suatu saat akan menggantikannya. para muadib (pendidik) di istana ketika diminta bukan hanya mengajarkan tentang pengetahuan (kognitif), tapi juga sikap (afektif) seperti untuk mengajarkan kejujuran, menjauhkan para putra mereka dari orang yang buruk akhlaknya, serta adab dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, kebersihan. Selain itu pendidik juga diminta untuk mengajarkan keterampilan (psikomotorik) seperti kebugaran  tubuh agar kuat, memanah, dan lain-lain.

 

6.   Badiah

Badiah merupakan pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli dan murni. Badiah menjadi lembaga pendidikan Islam untuk mempelajari ilmu bahasa dan kesusastraan arab. Banyak para anak khalifah, ulama, dan ahli ilmu pengetahuan yang pergi ke badiah-badiah untuk belajar. Badiah dijadikan lembaga pendidikan Islam dikarenakan semenjak berkembang luasnya Islam, bahasa arab dijadikan bahasa pengantar pada bangsa-bangsa yang beragama Islam, namun mereka kurang fasih melafadzkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa arab sehingga membuat hilang keaslian dan kemurnia bahasa arab tersebut (Nata, 2004: 42) artinya badiah dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam ketika itu merupakan respon para khalifah, ulama, ahli ilmu pengetahuan, karena adanya permasalahan dalam bahasa dan kesusastraan arab. Jika kita kaitkan dengan pendidikan Islam sekarang ini bahasa juga merupakan salah satu masalah pada lembaga pendidikan Islam, dimana bahasa merupakan alat dalam memahami sumber-sumber pada buku atau kitab yang masih banyak dalam bahasa asing. Terutama bahasa arab, salah satu bahasa al-Qur'an dan hadits serta bahasa yang sangat penting untuk memahami kitab-kitab klasik karya ulama-ulama dahulu yang menjadi khazanah kekayaan intelektual muslim dahulu yang masih relevan untuk dijadikan rujukan saat ini masih banyak belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

 

7.   Perpustakaan

Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, para ulama dan sarjana dari berbagai macam keahlian pada umumnya menulis buku sesuai bidang keahliannya untuk diajarkan kepada para penuntut ilmu dan memberikan kesempatan untuk belajar diperpustakaan pribadinya. Selain perpustakaan pribadi juga berkembang perpustakaan yang sifatnya umum yang berasal dari pemerintah atau wakaf dari para ulama dan sarjana. Seperti Baitul Hikmah di Baghdad merupakan salah satu contoh perpustakaan Islam yang lengkap dengan isi dari  bermacam-macam ilmu. Perpustakaan-perpustakaan  dijadikan sebagai aspek budaya penting sekaligus tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam pada masa kejayaannya dulu (Zuhairini, 2008: 99).

Kecintaan para khalifah pada masa kejayaan Islam terhadap ilmu pengetahuan menjadikan semangat yang luar biasa dalam mengembangkan berbagai bidang disiplin keilmuan pada masa itu, banyaknya koleksi buku-buku,  dan usaha menerjemahkan buku dari berbagai bahasa ke dalam bahasa arab sebagai upaya untuk mempelajari berbagai ilmu. Namun pada masa sekarang ini dari berbagai institusi pendidikan Islam bisa kita lihat bagaimana keadaan perpustakaan yang ada masih belum optimal baik buku-bukunya maupun  pengelolaannya, termasuk produktifitas menulis sesuai bidang keahlian yang masih kurang.

 

8.   Rumah Sakit (Al-Bimaristan)

Rumah sakit pada zaman kejayaan kebudayaan Islam bukan hanya sebagai tempat merawat dan mengobati orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan degan perawatan dan pengobatan. Rumah sakit dijadikan sebagai tempat penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu farmasi. Selain itu rumah sakit juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit (Zuhairini, 2008: 98) Di masa sekarang al-Bimaristan dikenal dengan istilah teaching hospital (rumah sakit pendidikan). Khalid ibn Yazid, cucu Muawiyah, misalnya sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Melalui wewenang yang ada padanya, ia meenyediakan sejumlah dana dan memerintahkan para sarjana Yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Inilah kegiatan penerjemahan pertama dan sejarah Islam. Tempat untuk melakukan kegiatan keilmuan ini adalah al-Bimaristan (Nata, 2011: 137) Jadi dalam dunia Islam pada masa perkembangan rumah sakit juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan, terutama dalam bidang kedokteran dan farmasi.

 

9.   Toko Buku (Al-Hawanit al-Warraqien)

Pada mulanya toko-toko kitab berfungsi sebagai tempat jual beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, namun selanjutnya juga berfungsi untuk berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah (Zuhairini, 2008: 94) toko-toko yang menjual kitab tersebut muncul pada zaman Daulat Abbasiyah, dan menyebar ke berbagai ibu kota dan Negara lain, dan toko-toko tersebut ada pada sejumlah di Baghdad yang jumlahnya lebih dari 100 toko kitab, dan pada zaman dinasti Bani Thulun dan al-ikhsyidin terdapat sebuah pasar yang besar yang khusus menyediakan buku untuk dijual dan kadang-kadang menyelengarakan kajian ilmiah (Nata, 2012: 201) jadi toko kitab tidak hanya  difungsikan dalam mencari laba dalam jual beli kitab, namun juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

 

10.   Sanggar Sastra (Al-Shaluun al-Adabiyah)

Sanggar sastra adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Menurut zuhairini majelis ini bermula sejak zaman Khulafa al Rasyidin yang bertempat di masjid guna untuk memberikan fatwa, musyawarah, dan diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan masalah. Pada masa Bani Umayyah tempat majelis tersebut dipindahkan ke istana dan orang-orang yang berhak menghadirinya hayalah orang-orang tertentu saja. Pada masa Bani Abbasiyah majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa terutama pada masa Harun AL-Rasyid (170-193 H) . pada masanya sering diadakan perlombaan antar ahli-ahli syair, perdebatan antar fuqaha, dan diskusi antar para sarjana berbagai macam ilmu pengetahuan serta sayembara diantara ahli kesenian dan pujangga. (Zuhairini, 2008: 95-96)

 

11.   Zawiyah

Az-Zawiyah secara harfiah berasal dari kata inzawa, yanzawi yang berarti mengambil tempat tertentu dari sudut masjid yang digunakan untuk i’tikaf dan mensyiarkan urusan agama (At-Tuwaanis, 2002: 33) Adapun Zawiyah menyerupai khanaqah dari segi tujuan, Akan tetapi zawiyah ini lebih kecil dari pada khanaqah, dan dibangun untuk orang-orang tasawuf yang faqir supaya mereka dapat belajar dan beribadat.contohnya salah seorang raja dari al-Mamalik membangun sebuah zawiyah Al-Jumairah di abad ke XIII M. Dan ditempatkan di dalamnya beberapa orang sufi yang fakir. Dan kadang-kadang pula Zawiyah itu didirikan untuk seorang syaikh yang termasyhur yang bertugas untuk menyiarkan ilmu pengetahuan dan mengasingkan diri untuk beribadat. Pada umumnya Zawiyah itu dikenal dengan nama seorang Syaikh yang terkenal dengan banyak ilmunya dan taqwanya (Fauzan, 2005: 256)

 

12.   Ribath

Ribath berasal dari bahasa Arab yang berarti: 1) sesuatu yang dibuat untuk mengikat; 2) tangsi, markas tentara; 3) tempat yang diwakafkan untuk fakir miskin (Ensiklopedi Islam, 2001: 169) Sebagai lembaga sufi, al-Maqrizi yang dikutip Zainul Hasan mendefisikan ribath sebagai rumah para sufi. Setiap kelompok (qawm) mempunyai rumah dan ribath adalah rumah para sufi. Dalam hal ini mereka mirip dengan ahl al-shuffah (sekelompok sahabat yang mendiami emperan Masjid Nabi di Madinah). Penghuni ribath adalah orang yang mempunyai ikatan (murâbith), dengan maksud, tujuan, serta keadaan yang sama. Ribath dibangun untuk mencapai maksud dan tujuan ini (Hasan, 2006: 7)

Menurut suwito dan Fauzan kaitannya dengan pendidikan menyatakan ribath adalah pusat kegiatan kaum sufi, tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian agama dan ibadat kepada Allah SWT. Jadi, ribath merupakan tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk ibadah semata-mata (Fauzan, 2005: 266)

 

13.   Khanqah

Menurut Martin Van Bruinessen yang dikutip Zainu Hasan menyatakan Khanqah adalah sebuah pemondokan di mana para murid dapat tinggal dan sekaligus merupakan tempat latihan mistik. Tidak ada kesepakatan tentang asal muasal kata ‘khanqah’; tetapi besar kemungkinan kata ini berasal dari bahasa Persia, ‘khanagah (Hasan, 2006: 9) Khanqah baru mendapat perhatian para sejarawan setelah abad ke- 4/10.Pada abad ini khanqah telah dikenal secara luas di daerah Khurasan dan Transoksiana (mâ warâ’ al-nahar). Beberapa ahli yang mencoba menelusuri sejarah lembaga ini berpandangan bahwa perkembangannya berhubungan erat dengan penyebaran kelompok yang menamakan dirinya Karramiyyah, pengikut Muhammad ibn Karram al-Sijistani (w. 255/869), meskipun hubungan ini belum terjelaskan sepenuhnya. Penghujung abad yang sama 10 M membawa angin baru bagi perkem­bangan khanqah. Asosiasinya dengan para sufi menjadi semakin jelas (Hasan, 2006).

 

14.   Madrasah

Madrasah merupakan lembaga pendidikan dari pengembangan lembaga pendidikan sebelumnya. Menurut bahasa madrasah berarti tempat belajar, atau sekolah formal. Menurut Abuddin Nata madrasah adalah lembaga pendidikan tingkat dasar, menengah, dan atas yang mengajarkan ilmu agama Islam semata-mata, atau perpaduan antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum, atau ilmu-ilmu umum yang berbasis ajaran Islam (Nata, 2012: 204) Madrasah sebagai lembaga pendidikan baru dikenal pada masa Dinasti Saljuk menggantikan Dinasti Buwaihi (945-1055 M/344-447H). Madrasah yang mula-mula didirikan adalah madrasah al Baihaqiyah oleh penduduk Naisabhur. Di antara madrasah yang terkenal adalah madrasah Nidzamiyah di Baghdad yang didirikan oleh Wazir Nizam al-Mulk tahun 457 H. Para ulama besar mengajar di madrasah ini antara lain, Abu Ishaq al-Syirazi al-Fairuzzabadi, pengarang kitab Tanbîh, kitab fikih mazhab Syafi’i. Juga Abu Hamid al-Ghazali yang menjadi guru besar di madrasah tersebut (Shobahussurur, 2015: 107) Madrasah Nizhamiyah yang merupakan  pertotipe awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama. Pemerintah atau penguasa ikut terlibat di dalam menentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain (Hidayat, 2013: 130)

Salabi yang dikutip solichin menyatakan bahwa kemunculan dari madrasah disebabkan oleh antara lain karena semakin banyaknya siswa yang berminat untuk menuntut ilmu sehingga masjid tidak lagi dapat menampung, ditambah lagi kegiatan pembelajaran di masjid telah menjadikan masjid hiruk pikuk atau ramai yang menganggu kekhusyu’an orang-orang yang beribadah di dalamnya. Dengan kenyataan ini, maka dipandang perlu untuk memindahkan kegiatan pembelajaran ke madrasah. Dengan demikian, perubahan dan perpindahan pendidikan dari masjid ke madrasah-menurut  Salabi adalah bersifat langsung tanpa melalui perantara (masjid khan) (Solichin, 2008: 205) sedangkan Makdisi Ia menyatakan bahwa pendirian madrasah oleh Perdana Menteri Nizham al-Muluk mempunyai tujuan-tujuan sendiri tidak terkait dengan kepentingan pemerintahan meskipun secara faktual madrasah itu meluluskan tenaga-tenaga yang nantinya menjadi tenaga pemerintahan. (Solichin, 2008: 206) jadi adanya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan respon dari berbagai tuntutan atas perkembangan yang ada baik karena kebutuhan pengembangan prasarana ataupun tuntutan ilmu pengetahuan sehingga juga perlu dilakukan pengembangan system pengajaran dan pendidikan.

Institusi-institusi  pendidikan Islam periode klasik dan pertengahan yang pernah ada memiliki peran yang besar dalam pengembangan system pengajaran dan pendidikan Islam. Peradaban Islam yang pernah mencapai masa keemasan tidak bisa dilepaskan peran dari institusi-institusi pendidikan Islam tersebut.  Kemajuan diberbagai bidang, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dapat kita lihat pada karya-karya dan penemuan-penemuan intelektual muslim pada masa itu. Namun dalam perkembangan selanjutnya pada fase kemunduran Islam banyak institusi-institusi pendidikan Islam yang menjadi korban dan hilang akibat dari kepentingan politik, kekuasaaan, kepentingan mazhab atau kepentingan-kepentingan kelompok.

 

 

 

D.     Institusi-Institusi Pendidikan Islam di Indonesia

1.   Surau

Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini sudah digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama Hindu Budha (Azra, 2000: 117-118). Surau dalam sistem adat minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur (Azra, 2000: 130) Menurut ketetentuan adat bahwa anak laki-laki tidak punya kamar di rumah orangtua mereka, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis lainnya.

Kedatangan Islam ke Sumatera Barat telah memberikan pengaruh dan perubahan bagi kelangsungan surau sebelumnya. Surau mulai terpengaruh dengan panji-panji penyiaran agama Islam. Dengan waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami islamisasi, walaupun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan suasana kesakralan dan merefleksikan sebagai simbol adat Minangkabau. Proses islamisasi surau begitu cepat dengan ditandai beberapa aktivitas keagamaan. Meski tidak harus merubah label namanya, kaum muslim dapat menerima (mempertahankan) tanpa mempertanyakan keberadaan asal- usulnya. Karena yang lebih penting masa itu adalah adanya sarana yang efektif untuk melakukan menyiarkan agama Islam. Nama atau label bukanlah hal yang prinsip, dan yang lebih esensi adalah semangat dalam menciptakan suasana dan aktivitas di kalangan umat Islam dalam memperkokoh keimanan dan keislamannya. Nilai-nilai semangat inilah yang dipegangi umat Islam hingga surau dikenal khalayak luas sepanjang sejarah (Akhiruddin, 2015: 209-210)

Sebutan surau biasanya dikonotasikan dengan istilah langgar atau mushalla. Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh sebelum langgar atau mushalla berdiri sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan istilah langgar biasanya digunakan untuk shalat dan mengaji bagi kaum muslim di Jawa. Setelah melaksanakan ibadah shalat, para jama’ah melanjutkan dengan membaca Al-Quran bersama yang dipimpin imam (guru) yang ditunjuk sebagai pendidik di surau (Akhiruddin, 2015: 210)

Sebagai lembaga pendidikan tradisional surau menggunakan system halaqah dalam pengajaran Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Quran, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan malam hari (Nizar, 2007: 281) Dalam perkembangannya surau mengalami kemjuan dan menjadi dua tingkatan yaitu pengajian Al-Qur'an dan Pengajian Kitab. Pada pengajian Al-Qur'an dibagi dua jenjang yaitu pendidikan rendah yang mengajarkan memahami ejaan huruf Al-Qur'an, tata cara wudhu dan shalat, cerita tentang nabi dan orang-orang soleh untuk pendidikan akhlak, serta sifat wajib bagi Allah. Sedangkan pendidikan atas mengajarkan membaca Al-Quran dengan lagu, qasidah, berjanji, tajwid, dan kitab perukunan. Pada pengajian kitab materinya meliputi; ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara menghafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini biasanya dilakukan pada siang hari (Nizar, 2007: 281).

Bila kita lihat dari beberapa materi yang diajarkan di surau tersebut lebih memfokuskan pada pendidikan ilmu agama Islam. Hal ini sesuai dengan keadaan Islam waktu itu yang masih dalam proses pertumbuhan di Indonesia. Pada masa selanjutnya surau juga mengalami surut peranannya yang menurut Samsul Nizar disebabkan beberapa faktor yaitu; Pertama, selama perang padri banyak surau yang musnah terbakar dan syekh banyak yang meninggal, kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah nagari, ketiga, kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktik-praktik surau yang penuh dengan khurafat, bid’ah, dan takhayu. (Nizar, 2007: 283)


2.   Pesantren

Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe- dan akhiran -an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko prasodjo, “pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama. Umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santrisantri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantrentersebut.” (Nata, 2001: 104). Terdapat komponen-komponen dalam sistem pendidikan pesantren yaitu santri, ustadz, kurikulum, metode belajar, sistem evaluasi dan fasilitas sarana prasarana yang ada serta tujuan yang ingin dicapai. Setiap komponen dalam suatu sistem saling terkait dan saling mempengaruhi, sehingga ketidakefektifan salah satu komponen akan mengganggu efektifitas komponen lainnya. (Toto Suharto, 2005: 95)

Sedangkan sejarah berdirinya pesantren pertama atau tertua di Indonesia terdapat beberapa pendapat. Pertama, berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh Depatremen Agama pada 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura yang didirikan pada tahun 1762. Tetapi data Departemen Agama ini ditolak oleh Mastuhu dengan alasan informasi tersebut dengan alasan bahwa sebelum adanya Pesantren Jan Tapes II, tentunya ada Pesantren Jan Tanpes I yang lebih tua. Selain itu, Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia. Sedangkan menurut Martin van Bruinessen seperti dikutip Abdullah Aly bahwa Pesantren Tegalsari, salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur merupakan pesantren tertua di Indonesia yang didirikan tahun 1742 M. Perbedaan pendapat tersebut karena minimnya catatan sejarah pesantren yang menjelaskan tentang keberadaan pesantren. (Usman, 2013: 103)

Walaupun terdapat perbedaan pendapat mengenai sejarah berdirinya pesantren di Indonesia, namun keberadaan pesantren sangat berperan besar dalam proses trnsmisi keilmuan Islam di Indonesia dan sebagai lembaga pendidikan Islam. Hingga kini keberadaan pesantren tumbuh subur di Indonesia dengan berbagai corak sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman.

 

3.   Meunasah

Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab Madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampung, desa). Bangunan ini sepert rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh. meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong. (Nata, 2001: 42).

Lebih lanjut Nata menjelaskan diantara fungsi meunasah adalah pertama sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu. Kedua sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca AlQur’an. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian, pada hari jumat dipakai ibu-ibu untuk shalat berjamaah zuhur yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan. Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu (Nata, 2001: 42-43).

Selain meusanah terdapat lembaga pendidikan Islam lain di Aceh seperti dayah. Berbeda dengan meunasah, dayah ini didatangi khusus oleh orang dewasa yang sudah mempunyai pengetahuan dasar tentang keislaman, para penguasa, bahkan juga oleh para ulama. Itulah sebabnya, barangkali, dayah disebut lembaga pendidikan tinggi (Syadli, 2003: 136). Dalam perkembangan selanjutnya banyak orang berdatangan untuk belajar di dayah. Mereka yang datang bukan saja berasal dari kampung yang berdekatan, tetapi juga datang dari daerah-daerah di luar Aceh. Maka untuk bermalam murid yang datang dari jauh ini, dibangunlah di sekitar dayah tersebut bilik-bilik yang dalam bahasa Aceh disebut rangkang. Dengan demikian dayah ini sudah mempunyai 3 unsur utama yakni mesjid, tempat belajar, dan rangkang tempat bermalam, sehingga ia mempunyai kesamaan dengan pesantren di Jawa. Bangunan dayah dan rangkang tidak selamanya menyatu dengan masjid. Ada juga dayah dan rangkang yang terpisah dari masjid (Syadli, 2003: 136).

 

E.     Penutup

Munculnya berbagai macam institusi pendidikan Islam merupakan sebuah respon yang dilakukan para intelektual muslim dalam mengembangkan system pengajaran dan pendidikan Islam. Mulai dari periode klasik sampai periode pertengahan banyak bermunculan institusi-institusi pendidikan Islam seperti Darul Arqam, Masjid, Kuttab, Asshuffah, istana, badiah, rumah sakit, Toko Buku, Perpustakaan, sanggar sastra, zawiyah, ribath, khanqah, madrasah. Sedangkan di Indonesia ada surau, pesantren, meusanah, dayah, rangkang. Dan masih terdapat beberapa institusi pendidikan Islam yang belum dituliskan dalam tulisan ini.

Institusi-institusi tersebut memiliki peran yang besar dalam menyebarkan ajaran Islam, mengembangkan keilmuan serta mencetak tokoh-tokoh besar dalam Islam. salah satu faktor yang menyebabkan kemajuan Islam ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan baik umum maupun agama. Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan dihasilkan dari proses pendidikan dan pengajaran serta kegiatan ilmiah lainnya yang dilakukan di institusi-institusi pendidikan Islam tersebut.

Pada periode modern pertumbuhan dan perkembangan institusi pendidikan Islam masih berlangsung sampai saat ini. Dengan berbagai coraknya intitusi pendidikan Islam tersebut mencoba untuk mengejar berbagai ketertinggalan umat Islam terutama bidang sains. Saat ini yang masih menjadi PR bersama bagaimana institusi pendidikan yang mampu mencetak para ilmuwan sekaligus ulama seperti yang pernah dicapai pada masa kejayaan Islam

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Akhiruddin, K. (2015) 'Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara', TARBIYA; Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, vol. I, no. 1, April, pp. 195-219.

 

At-Tuwaanis, A.a.-J.d.A.F. (2002) Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Azra, A. (2000) Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos.

Ensiklopedi Islam (2001), Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.

Fauzan, S.d. (2005) Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.

Hasan, Z. (2006) 'Lembaga Pendidikan Sufi (Refleksi Historis)', Tadris Jurnal Pendidikan Islam, vol. 1, no. 1, pp. 1-13.

Hidayat, H. (2013) 'Teologi Lembaga Pendidikan Islam', Ijtima'iyya, vol. 6, no. 2, Agustus, pp. 1-18.

Karolina, A. (2015) 'Perbandingan Institusi Pendidikan Islam yang Berkembang di Abad Klasik dengan Institusi Pendidikan Islam yang Berkembang di Indonesia', Tadrib: Jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 1, no. 1, Juni, pp. 16-31.

Nasution, H. (2014) Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerkan, 14th edition, Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Nata, A. (2001) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo.

Nata, A. (2004) Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, 1st edition, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nata, A. (2011) Sejarah Pendidikan Islam, 1st edition, Jakarta: Kencana.

Nata, A. (2012) Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, Jakarta: Rajawali Pers.

Nizar, S. (2007) Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Era Rosulullah Sampai Indonesia, 1st edition, Jakarta: Kencana.

Shobahussurur (2015) 'Lembaga Pendidikan Islam Khazanah Kalsik: Telaah Proses Sejarah dan Transmisi Ilmu Pengetahuan', TSAQAFAH Jurnal Peradaban Islam, vol. 11, no. 1, Mei, pp. 89-112.

Solichin, M.M. (2008) 'Pendidikan Islam Klasik (Telaah Sosio-Historis Pengembangan Kurikulum Pendidikan Masa Awal Sampai Masa Pertengahan)', Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 3, no. 3, July.

Syadli, M. (2003) 'Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh', ALQALAM, vol. 20, no. 96, Maret, pp. 125-142.

Toto Suharto, d. (2005) Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Usman, M.I. (2013) 'Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam', Al-Hikmah, vol. 14, no. 1, Juni, pp. 127-146.

Zuhairini (2008) Sejarah Pendidikan Islam, 9th edition, Jakarta: Bumi Aksara.

Posting Komentar