Etika Komunikasi di Ruang Digital
MEMUDARNYA ETIKA KOMUNIKASI DI RUANG DIGITAL
Etika
berkomunikasi di era digital menjadi semakin pudar dengan adanya kebebasan di
ruang digital.[1]
Lebih lanjut hardiman menyatakan hal ini dikarenakan kendali dan pengawasan
moral yang membatasi dan mendisiplinkan komunikasi korporeal diabaikan. Tahun
2021 lalu perusahan Microsoft merilis sebuah laporan survey tentang tingkat
kesopanan para pengguna internet di sepanjang tahun 2020. Hasil survey tersebut
cukup mengejutkan karena Indonesia berada diperingkat 29 dari 32 Negara yang
diteliti.[2]
Ketidaksopanan yang dimaksud dari survey tersebut adalah terkait dengan perilaku berselancar di dunia maya dan aplikasi
media sosial dengan 4 kategori, yakni seksual, perilaku, reputasi, dan pribadi.[3]
Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan komunikasi di ruang digital memicu
ketidaksopanan dalam berkomunikasi.
Kebebasan
dalam berkomunikasi dewasa ini bisa kita rasakan ketika seseorang seolah-olah
bisa menjadi pakar segala bidang dengan memberikan berbagai komentar di ruang
digital. Seseorang dengan smartphone nya tiba-tiba merasa menjadi pakar
politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya dengan kebebasannya
memposting, meneruskan, atau mengomentari berbagai informasi yang sedang viral.
Bahkan tidak jarang informasi pribadi seseorang juga disebarluaskan sampai pada
titik oversharing.
Oversharing dan Penyebabnya
Oversharing merupakan istilah yang sudah lama muncul sebelum adanya dunia maya. Oversharing ialah situasi dimana orang membagikan info mengenai kehidupan pribadinya kepada publik secara berlebihan. Manusia bisa menceritakan tentang dirinya 30-40 persen. Hal yang menarik adalah angkanya jadi meningkat ke 80 persen saat dilakukan di media sosial.[4] Diantara penyebabnya adalah;
1. Menceritakan masalah pada orang dan tempat yang salah
Seseorang yang memiliki masalah biasanya menceritakan kepada orang dekatnya untuk meluapkan emosional atau meminta bantuan solusi memecahkan masalahnya. Di era digital saat ini semakin banyak orang yang tidak mampu membedakan mana yang privat dan mana yang publik. Sehingga seringkali menceritakan yang seharusnya privasi kemudian diuplod pada beranda FB, status Whatsapp, IG, dan lainnya. Manusia tentu memiliki masalah masing-masing dalam hidup, dan berusaha untuk menghindari dari bahaya stres dan depresi. Boleh untuk menceritakan masalah kepada orang terdekat yang dianggap mampu memberikan ketenangan dan solusi, namun bukan berarti mengumbar privasinya di media sosial yang bisa dilihat seluruh teman kita.
2. Munculnya perasaan fear of missing out (FOMO)
Perasaan
fear of missing out (FOMO) atau takut ketinggalan seperti ketinggalan
tren, ketinggalan update, dan ketinggalan terhubung dengan yang lain. Misalnya,
ketika seseorang melihat foto liburan atau gaya hidup temannya yang nampak
mewah dan menyenangkan, sangat banyak diantara kita kemudian tergoda untuk ikut
membagikan foto-fotonya agar terlihat menarik atau dikagumi oleh teman-teman. Padahal
belum tentu foto yang terlihat mewah, bahagia, ataupun sebaliknya seperti pada
faktanya. Karena menurut seorang profesor dari DePaul University Chicago, Paul
Booth mengemukakan bahwa interaksi yang dilakukan melalui media sosial adalah
bentuk ikatan lemah, karena kamu tidak terhubung secara langsung atau bertatap
muka dengan lawan bicara.[5].
Contoh
lain dari perasaan FOMO adalah misalnya, ketika mendapat informasi di grup media
sosial entah itu kabar duka, kabar bahagia atau informasi lainnya, maka satu
sama lainnya berlomba-lomba untuk membagikan informasi tersebut agar dianggap
paling update tanpa mempertimbangkan kebenaran informasi tersebut terlebih
dahulu. Inilah yang disebut fenomena psikologis yang membuat seseorang cemas
apabila ketinggalan yang akhirnya ikut-ikutan tanpa pertimbangan rasionalitas.
Pola Perilaku Netizen Indonesia di ruang digital
Beberapa
tahun lalu hasil survey yang dilakukan Microsoft menyebutkan bahwa perilaku
atau respon netizen indonesia sangat mengerikan, terlihat buruk dan dianggap
tidak sopan.[6]
Hal ini bisa kita lihat ketika ada berita viral yang muncul dan dianggap
melakukan kesalahan terhadap negara, kelompok, atau personal maka para netizen
yang dengan sigap dan cepat segera menghujat, manghakimi, memvonis, menyudutkan
pribadi seseorang tersebut. Misalkan berita viral yang baru-baru ini dibahas
antara Agus dan Novi terkait donasi, Gus Miftah dengan penjual es teh, Kyai
Imad dengan para Habaib dan lain sebagainya. Mengutip hasil penelitian Prasetya
yang menggolongkan pola perilaku netizen Indonesia di Media Sosial sebagai
berikut:
Pola Perilaku
Negatif:
- Menyembunyikan identitas dalam berkomentar,
- Menyerang fisik/psikis personal dalam komentar
- Memprovokasi dan mudah emosi,
- Over reaksi (over reaktif, over sharing dan over pround),
- Sebagai mediator penyebar hoax, SARA, fornografi, kekerasan dan ujaran kebencian
Pola Perilaku
Positif:
- Memiliki rasa menghargai sesama pengguna sosial media
- mampu mengontrol emosi dan ego
- berkomentar dengan bijak dan rasional
- Selektif dalam memilih berita
- Memiliki positif vibes/menciptakan suasana damai
[1]
F. Budi
Hardiman, “Manusia Dalam Prahara Revolusi Digital,” DISKURSUS - JURNAL
FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA 17, no. 2 (15 Oktober 2018): 177–92,
https://doi.org/10.36383/diskursus.v17i2.252.
[2] Microsoft,
“Digital Civility Index & Our Challenge | Microsoft Online Safety,”
Microsoft, 2021,
https://www.microsoft.com/en-us/online-safety/digital-civility.
[3] Suryana,
“Menyoal Hasil Survei Microsoft Tentang Etiket Orang Indonesia Menggunakan
Media Sosial,” Ilmu Pengadaan, 30 April 2021,
https://ilmu.lpkn.id/2021/04/30/menyoal-hasil-survei-microsoft-tentang-etiket-orang-indonesia-menggunakan-media-sosial/.
[4] Yayasan Pembina
Masjid Salman ITB, “Alasan Psikologis Orang Umbar Masalah Pribadi di Medsos,”
2021, https://salmanitb.com/artikel/alasan_psikologis_orang_umbar_masalah_pribadi_di_medsos.
[5] Redaksi
Halodoc, “Kecanduan Media Sosial? Hati-Hati Oversharing,” halodoc, 2023,
https://www.halodoc.com/artikel/kecanduan-media-sosial-hati-hati-oversharing.
[6] Agung Prasetya,
Maya Retnasary, dan Dimas Akhsin Azhar, “Pola Perilaku Bermedia Sosial Netizen
Indonesia Menyikapi Pemberitaan Viral di Media Sosial” 1, no. 1 (2022).
[7] Prasetya,
Retnasary, dan Azhar.
Posting Komentar