Cara Menyambut Kelahiran Anak dalam Islam

Daftar Isi

 Anjuran yang Dilakukan Orang Tua Saat Kelahiran Anak dalam Islam


Bagi pasangan yang dinanti kehadirannya setelah pernikahan adalah hadirnya sosok anak. Karena salah satu tujuan pernikahan adalah menjaga atau meneruskan keturunan. Jadi ketika sudah mendapatkan amanah Allah berupa anak, maka ada beberapa hal yang dianjurkan dalam Islam kepada orang tua saat kelahiran anak. Orang tua sebagai sosok pendidik pertama bagi anak berperan penting dalam proses pendidikan terhadap anak yang baru lahir. Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan orang tua dalam menyambut kelahiran anak:


1.        Menyambut dengan penuh syukur dan memberi ucapan selamat

Anak merupakan salah satu nikmat dan anugerah yang sangat besar dari Allah SWT. Sudah seharusnya kita mensyukuri anugerah tersebut dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak amal kebajikan. Adapun bentuk ungkapan syukur ialah “dengan tahadduts bin ni’mah, yaitu berbagi kebahagiaan dan nikmat yang diberikan oleh Allah kepada orang lain”.[1] “Berbagi kebahagiaan bisa dilakukan dengan memberi tahu sanak kerabat, bersedekah kepada tetangga dan fakir miskin, serta melakukan sejumlah anjuran agama Islam dalam menyambut kelahiran anak seperti memberi nama yang baik, malakukan aqiqah, dan mencukur rambut bayi”.[2]

 

2.        Mengumandangkan adzan dan iqamat saat kelahiran anak

Anjuran saat bayi lahir selanjutnya adalah mengumandangkan adzan dan iqamat dikedua telinga anak. Tata cara mengumandangkan adzan dan iqamah saat bayi lahir  adalah dengan mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, baik bayi itu laki-laki maupun perempuan.  lafadznya sama dengan lafadz adzan dan iqamat untuk shalat. Adzan dan iqomat ini dilakukan bertujuan agar suara pertama kali yang didengar anak ketika lahir ke dunia adalah suara-suara kebaikan (adzan dan iqamat) karena di dalamnya terdapat kalimat-kalimat toyyibah seperti takbir, syahadat, tahlil dengan harapan anak akan senantiasa dekat dengan ajaran agama.

Sebagian orang menilai hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Namun menurut Ahmad ibn Mahmud ad-Dib menyatakan bahwa “meskipun hadits ini dinyatakan lemah sanadnya ada hadits lain yang menjadi syahid (hadits penguat) bagi hadits ini, yaitu hadits Ibnu Abbas r.a dalam riwayat Baihaqi dalam bab syu’ab al-iman sehingga dengan demikian hadits ini menjadi kuat sanadnya”.[3] Jadi dalam masalah adzan dan iqamat di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat).

 

3.        Men-tahnik Anak yang Baru Lahir

Men-tahnik yang dimaksud adalah “menggosokkan buah kurma pada langit-langit mulut sang bayi. Ini dimaksudkan untuk memberi rangsangan makanan kepada bayi”.[4] Jika tidak memiliki kurma men-tahnik dapat dilakukan dengan meneteskan madu kemulut bayi. Buah kurma maupun madu memiliki khasiat tertentu terutama karena rasanya manis untuk merangsang perasaan lidah bayi.

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ: وُلدَ لِيْ غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْراهِيْمَ وَحَنَكَهُ بِتَمْرَةٍوَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَتِهِ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ.(روه البخاري)

Terjemahannya: “Dari Abu Musa r.a berkata: anakku lahir dan aku membawanya kehadapan Nabi Saw. Lalu beliau menamainya Ibrahim, melakukan tahnik untuknya dengan sebutir kurma dan berdo’a kepada Allah agar memberkahinya, lalu mengembalikannya kepadaku”.[5]

Cara mentahnik adalah orang yang mentahnik mengunyah kurma hingga agak cair dan mudah ditelan (jika madu bisa langsung) membuka mulut si bayi, lalu ia menggosokkan kunyahan kurma tadi di langit-langit mulutnya sehingga si bayi akan mencernanya ke dalam kerongkongannya. Dianjurkan yang mentahnik adalah orang sholih/solihah sehingga bisa diminta do’a keberkahannya.

 

4.        Memberi Nama yang Baik

Penghormatan pertama yang diberikan kepad bayi yang baru lahir  adalah memberinya nama yang baik dan panggilan yang mulia. Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad hasan dari Abi Darda’ r.a. bahwa Rasuluullah Saw bersabda:

اِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ بِاَسْمَا ئِكُمْ وَبِأسْمَا ءِ اَبَاءِكُم فَأحْسِنُوا اَسْمَاءَكُمْ (رواه أبوداود)

Terjemahannya: “sesungguhnya kalian nanti pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama kalian sendiri dan nama-nama ayah kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian”.[6]

 

5.        Mencukur Rambut

عَنْ أَبِى إَِسْحَاقَ عَنْ عَمُرُوبنِ شُعَيْبٍ عَنْ أبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أمَرََ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَى اللّه عَلَيْه وَسلم حِيْنَ سَابَعَ اَلْمَوْلُوْدُ بِتَسْمِيَتِهِ وَعَقِيْقَتِهِ وَوَضْعِ اْلأذَى عَنْهُ (رواه التر مذى)

Terjemahannya: “Dari Abu Ishak dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata,   Rasulullah Saw memerintahkan ketika pada hari ketujuh bayi dilahirkan untuk memberinya nama, mengaqiqahinya, dan menghilangkan kotoran darinya”.[7]

Yang dimaksud dengan adza’ (kotoran) pada hadits tersebut adalah kotoran bayi. Artinya jika rambut itu tidak dicukur, maka bisa saja mendatangkan penyakit yang justru membahayakan sang bayi. Oleh karena itu, rambut bayi disyari’atkan dicukur pada hari ketujuh. Setelah dicukur, rambut bayi ditimbang dengan timbangan emas dan orang tua dianjurkan menyedekahkan perak atau segala sesuatu yang berharga senilai timbangan rambut bayinya.

Di dalam Al-Muwaththa’, Imam Malik meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, bahwa ia berkata:

وَزَنَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللّه عَنْهَا شَعْرَ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَزَيْنَبَ وَأُمَّ كُلْثُوْمَ فَتَصَدَّقَتْ بِزِيْنَةِ ذلِكَ فِضَّةً.(رواه الإمام مالك)

Terjemahannya: “Fatimah r.a telah menimbang rambut kepala Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kaltsum seberat timbangan rambut itulah ia menyedekahkan perak”.[8]

Caranya adalah rambut bayi tersebut ditimbang, setelah itu sedekah dengan perak atau boleh dikonversikan dalam bentuk uang seharga perak. Misalnya berat rambut yang telah dicukur adalah 2 gram, berarti sedekahnya adalah dengan 2 gram perak atau dengan uang seharga 2 gram perak tadi. kalau harga 1 gram perak ketika itu adalah Rp. 50.000 berarti sedekahnya adalah Rp. 100.000. Sedekah ini diserahkan kepada fakir miskin yang membutuhkan. Rambut bayi yang sudah dicukur hendaknya tidak dibiarkan begitu saja, tetapi dipendam di dalam tanah dengan baik.

 

6.        Aqiqah

secara bahasa aqiqah berarti “memotong”. Menurut Imam Syaukani berpendapat  bahwa aqiqah adalah “sembelihan untuk bayi, sedang al-‘aqqu pada dasarnya bermakna asy-syaqqu (memotong) dan al-qath’u (memotong). Sembelihan itu dinamakan aqiqah karena tenggorokannya atau lehernya dipotong”[9].

Menurut syara’ aqiqah adalah “memotong kambing dalam rangka mensyukuri kelahiran sang bayi yang dilakukan pada hari ketujuh dari kelahirannya”.[10] Hal ini sebagai pengamalan terhadap sunnah nabi Saw dan bukti bahwa kita mengikuti tradisi yang baik umat Islam terdahulu.

كُلُّ غُلاَ مٍ رَهْنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَا بِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى. (النسائِ)

Terjemahannya: “setiap anak tergadai dengan (tebusan) aqiqahnya (seekor atau dua ekor kambing) yang disembelih pada umur tujuh hari dan dicukur rambut kepalanya  dan diberi nama”.[11]

عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرِالضَّبِّيِّ رَضِيَ اللّه عَنْهُ, قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَى اللّه عَلَيْه وَسَلَّم يَقُوْلُ: (مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ, فَأَهْرِيقُواعَنْهُ دَمَا, وَأَمِيطُواعَنْهُ الأَذى)

Terjemahannya: “Diriwayatkan dari Salman bin Amir Al-Dhabbi r.a: aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, Aqiqah dilakukan untuk seorang anak laki-laki (yang baru lahir), maka sembelihlah (binatang) untuknya, dan bebaskan ia dari kesengsaraannya”.[12]

Hadits tersebut dikutip dalam Fath Al Bari dan mayoritas ulama menyetujui hadits yang diriwayatkan di dalam hadits Shahih Al-Tirmidzi bahwa Nabi Saw. Ditanya perihal aqiqah dan memerintahkan menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Dan ini adalah sunnah Nabi Saw.

Aqiqah merupakan acara tasyakuran dengan menyembelih kambing ketika anak baru lahir. Adapun waktu pelaksanaanya dapat dilakukan pada hari ketujuh, atau keempat belas, atau kedua puluh satu. Ada pula yang melaksanakan aqiqah setelah anak tersebut berusia satu tahun atau lebih, menurut kemampuannya.

Aqiqah menurut Ibnul Qayyim yang dikutip oleh Jamaal Abdur Rahman menyatakan bahwa “aqiqah mempunyai faidah diantaranya untuk mendekatkan diri kepada Allah, melatih diri untuk bersikap pemurah, dan mengalahkan kekikiran yang ada dalam diri manusia, mengokohkan tuntunan yang dianjurkan oleh syari’at dan sekaligus memerangi khufarat (mistik) jahiliyah, menyiarkan nasab bayi yang baru lahir”.[13]

 

Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan proses penyambutan kelahiran anak dalam Islam. Karena anak adalah amanah Allah yang dibebankan kepada orang tua, maka sudah sepantasnya untuk melaksanakan amanah tersebut dengan menjaga, merawat, mendidik sesuai dengan tuntunan Islam.


Wallaahua'lam Bisshawab

[1]Ali Ghufron, Lahirlah dengan Cinta Fikih Hamil dan Melahirkan, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 100

[2]Ibid.

[3]Ahmad ibn Mahmud Ad-Dib, Aqiqah, (Jakarta: Qisthi Press, 2010), hlm. 26

[4]Samsul Munir Amin, Menyiapkan Masa Depan Anak Secara Islami, (Jakarta: Amzah, 2007). hlm. 9

[5]Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al Bukhari, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 816

[6]Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007). hlm. 73

[7]Ali Ghufron., hlm. 108

[8]Abdullah Nashih Ulwan., hlm. 69

[9]Ahmad ibn Mahmud Ad-Dib., hlm. 42

[10]Ibid., hlm. 43

[11]Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, (Jakarta: Gema Insani, 1991), hlm. 245

[12]Imam Az-Zabidi.,

[13]Jamal Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2005), hlm. 58


Posting Komentar